Blog of Basyral Hamidy Harahap

07 September

Dari Panyabungan ke Madina 4

MADINA

Berangkat dari pemahaman sabung-menyabung ayam yang lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya itulah, yang antara lain mendasari penggantian nama Panyabungan menjadi Madina. Nama Madina diambil dari nama Kota Suci Islam, Madina Al-Munawwarah. Ini sesuai dengan julukan Serambi Mekkah yang dilekatkan oleh masyarakat terhadap Mandailing Natal.
Gagasan mengganti nama Kota Panyabungan menjadi Kota Madina bukanlah tanpa alasan. Banyak kota di dunia mengalami beberapa kali pergantian nama. Kota Suci Madina sendiri mempunyai 95 nama, antara lain Yatsrib, Taba, Taiba, Al-Aasima, Qariat Al-Ansar, Kobbat Al-Islam, Raib Al-Iman, Al-Mumina, Al-Mubaraka, Al-Mukhtara, Madinat Al-Rasul, Al-Muslima Al-Muhabba, Dar Al-Iman, Haram Rasul Allah, Dar Al-Abrar, Dar Al-Akhyar, Dar Al-Sunna, Dar Al-Salam, Dar Al-Fath, Al-Dira Al-Hasina, That Al-Harar, That Al-Nakheel, Sayidat Al-Buldan, Bait Rasul Allah, Akitat Al-Bildan, Al-Barra dan Al-Jabira (Ali Hafiz, 1984:3-5). Kota suci ini lebih terkenal dengan nama Madina Al-Munawwarah, ialah Madina yang bersinar.
Kota suci Makkah sebagai kota tertua di dunia pun mempunyai beberapa nama. Hal ini antara lain dipaparkan oleh Syahruddin El-Fikri dalam lampiran Harian Republika, Islam Digest, edisi Ahad, 31 Januari 2010, pada rubrik Situs, halaman B3, kolom 1-4. Ada beberapa Surat Al-Qur'an yang merujuk pada Kota Suci Mekkah, di antaranya: Bakkah dalam Surat Ali Imran ayat 3, Al-Balad dalam Surat Al-Balad ayat 1-2, Ummul Qurra dalam Surat Al-An'am ayat 92, Al-Balad Al-Amin dalam Surat At-Tin ayat 3, Al-Qaryah dalam Surat An-Nisaa ayat 75, Al-Baldah dalam Surat An-Naml ayat 91 dan Makkah dalam Surat Al-Fath ayat 24.
Julukan lain Kota Suci Makkah ialah Masy'aril Haram (Tanah Haram), Haraman Amin (Tanah Suci yang aman) dalam Surat Al-Qashash ayat 37, Al-Bassah (dibinasakannya orang-orang yang ingkar), Al-Bassaq (tempat tinggi karena dimuliakan dan ditempatkan pada posisi yang tinggi), dan An-Nasaasah (kering, karena di daerah ini sangat sedikit airnya). Makkah disebut juga Tanah Haram karena di dalamnya terdapat tapal batas yang melinkari Makkah. Orang kafir tidak diperbolehkan memasuki kawasan Tanah Haram.
Mandailing dan seluruh kawasan pedalaman dan Pantai Barat dikenal sejak dahulu sebagai Serambi Mekkah. Ulama-ulama besar lahir atau berasal dari daerah ini. Perguruan Islam mulai dari tempat Suluk sampai Pesantren merupakan bagian penting dalam perjalanan sejarah daerah ini. Dua simbol Islam yang baru pun sudah dibangun di Kota Panyabungan, ialah Sekolah Tinggi Agama Islam Madina (STAIM) dan Masjid Agung Nur Alan Nur yang tidak lama lagi akan diresmikan. Masjid Agung ini terletak di dasar Lembah Mandailing Godang, di tepi Batang Gadis, di pinggir Jalan Raya Lintas Sumatera, di hulu Bendung Batang Gadis.
Land Mark Panyabungan ini dirancang oleh arsitek Masjid terkemuka di dunia, Prof. Achmad Noe'man, didampingi puteranya yang juga arsitek lulusan Amerika Fauzan A. Noe'man. Lebih dari 200 Masjid di Indonesia dirancang oleh Prof. Achmad Noe'man, termasuk Masjid At-Tin di Jakarta. Beliau terkenal di Timur Tengah, karena posisinya sebagai Koordinator Arsitek Islam Sedunia yang merancang rehabilitasi Masjidil Aqsa. Permadani merah dihamparkan sampai ke tangga pesawat terbang ketika beliau dijemput oleh Raja atau Presiden di tangga pesawat, di antaranya di Marokko dan Emirat Arab.
Jadi beruntunglah masyarakat Mandailing Natal memperoleh satu Masjid Agung yang dirancang oleh Prof. Achmad Noe'man ini. Pada bulan Juli 2004 saya mendampingi Prof. Achmad Noe'man dan puteranya, Fauzan, arsitek tamatan Amerika, ke Panyabungan untuk memenuhi undangan Bupati Mandailing Natal, Bapak H. Amru Daulay, S.H. melakukan presentasi pembangunan beberapa Masjid di Indonesia. Acara itu dilaksanakan di aula Kantor Bupati Madina yang dihadiri oleh Bapak H. Amru Daulay, S.H., Wakil Bupati Madina Ir. Masruddin Dalimunthe, para ulama se Mandailing Natal..
Rapat-rapat berikutnya berlangsung di kantor Prof. Achmad Noe'man di Bandung dan Jakarta. Dua desain Masjid Agung yang ditawarkan oleh Prof. Achmad Noe'man kepada Bapak H. Amru Daulay, S.H. Desain yang dipilih oleh beliau telah diwujudkan secara fisik menjadi Masjid Agung Nur Alan Nur yang kini hampir selesai. Prof. Achmad Noe'man mengatakan kepada penulis laporan ini, bahwa Masjid Agung ini adalah salah satu kebanggaannya di antara lebih 200 Masjid yang dirancangnya. Tambahan lagi, beliau mengatakan, bahwa kualitas bangunan Masjid Agung ini adalah yang terbaik dari semua Masjid rancangannya yang pembangunannya dilaksanakan oleh Waskita Karya.
Prof. Achmad Noe'man mendapat kehormatan memberi nama Masjid Agung ini dengan Masjid Agung Nur Alan Nur, yang berarti Cahaya di atas Cahaya. Bila malam telah tiba, Masjid ini tampak dari Sorik Marapi memancarkan cahaya nun jauh di Lembah Mandailing Godang. Bila di siang hari, Masjid Agung ini tampak dari kejauhan dari arah Dalan Lidang. Sedangkan dari arah selatan, Masjid Agung ini tampak tiba-tiba menangkap pandangan setiap orang yang melintasi Jalan Raya Lintas Sumatera dari arah Selatan. Jika dipandang dari arah Bukit Paya Loting di Komplek Perkantoran Kabupaten Madina, maka Masjid Agung ini terasa memiliki daya magnit yang menarik orang untuk mendatanginya. Air Batang Gadis yang tenang di hulu Bendung Batang Gadis, bagaikan situ, danau, menambah suasana kesejukan yang luar biasa. Inilah bangunan yang yang menonjol, yang mudah dikenal, yang merupakan Land Mark. Prof. Achmad Noe'man menyatakan, bahwa beliau sangat mengagumi lokasi Masjid Agung ini, yang bagaikan simponi suara alam yang harmonis.
Julukan Serambi Mekkah untuk Mandailing Natal didasarkan banyaknya ulama besar di daerah ini yang telah melakukan dakwah Islamiyah yang luar biasa. Mereka bukan saja berkiprah di Mandailing, Sumatera Utara dan Malaysia, tetapi juga di Tanah Suci Mekkah.
Donald Tugby mengungkapkan di dalam bukunya Culture Change & Identity: Mandailing Immigrants in West Malaysia, bahwa sebanyak 79% desa-desa yang berpenduduk hanya 5% orang Mandailing, memiliki seorang imam orang Mandailing. Kedudukan ini merupakan posisi yang sangat terhormat karena menjadi panutan bagi masyarakat di pedesaan Malaysia. Mereka mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan-perguruan Islam (Tugby, 1977:93-94).
Seorang ulama Sufi, Syekh Muhammad Nor Al-Kholidi yang berasal dari Panyabungan tiba di Semenanjung kira-kira tahun 1884. Ulama besar ini bersama adik angkatnya Zainal Abidin berangkat menuju Tanah Suci melalui jalan darat mulai dari Thailand melintasi India dan seterusnya. Pada tahun 1894 dua ulama ini membuka Kampung Sungai Cincin di Gombak, 13 kilometer di luar Kuala Lumpur. Masyarakat Sungai Cincin ditata sesuai ajaran agama Islam.
Beberapa ulama besar Mandailing berkiprah di Tanah Suci Mekkah, di antaranya, Sykeh Adul Kadir Mandili yang menjadi Imam Besar Masjidil Haram pada awal abad XX. Dua orang puteranya yang lahir di Mekkah menjadi ulama terkemuka di Mandailing, ialah Syekh Ja'far Abdul Kadir pendiri Masjid Raya Al Qurro' wal Huffazh yang dikenal juga Masjid Raya Panyabungan, adiknya Syekh Ya'qub Abdul Kadir, pernah mengajar di Pakistan.
Syekh Abdul Fattah yang dimakamkan di Pagaran Sigatal, Hutasiantar, yang pada masa hidupnya menyebarkan agama Islam mulai dari Pantai Barat Mandailing. Syekh Junaid Thola, seorang ulama, pengusaha dan pendiri banyak Madrasah Diniyah di Perak dan Pesantren Al-Junaidiyah di Hutanamale. Syekh Musthafa Husein, pendiri Madrasah Musthofawiyah di Purba Baru. Syekh Ali Hasan Ahmad kelahiran Pintu Padang Julu, Sononoan, mendirikan Madrasah Ad-Diniyah di Mekkah. Ia juga seorang penerbit dan pengarang. Banyak sekali ulama-ulama yang berkiprah di Mandailing Natal dan daerah lain. Paparan yang lebih luas ada antara lain di dalam buku Madina Yang Madani halaman 277-331.
[Read More!]
09:34:48 - rajungan - No comments

Dari Panyabungan ke Madina 3

TRIO PENEMBUS WAKTU

Dalam pandangan saya, Bapak Amru Daulay, S.H. adalah satu di antara trio yang telah mengubah Mandailing Natal dari kegelapan ke pencerahan untuk meraih kemajuan. Trio itu telah berhasil membuat terowongan waktu yang digunakan untuk menoleh ke belakang sebagai guru tentang apa yang telah berlalu, berdiri pada kurun di mana mereka berada, dan memandang ke depan yang jauh untuk meraih kemajuan sepanjang zaman. Mereka adalah: Patuan Moksa, Alexander Philippus Godon dan H. Amru Daulay, S.H.
Trio pertama, Si Baroar gelar Patuan Moksa, adalah pendiri Dinasti Nasution yang menurunkan raja-raja di Mandailing Natal. Selain itu, Patuan Moksa adalah pendiri Panyabungan dengan mengganti nama Dori Soit menjadi Panyabungan. Patuan Moksa membangun Pasar Panyabungan sebagai pusat kegiatan ekonomi di simpang empat menurut arah angin, ialah ke arah barat Panyabungan Tonga-Tonga, ke timur Hutasiantar, ke utara Gunung Tua dan ke selatan Pidoli. Pasar ini menjadi pusat perdagangan komoditi ekspor dan impor untuk wilayah kekuasaan Patuan Moksa dan negeri-negeri sekitarnya.
Trio kedua, Alexander Philippus Godon, Asisten Residen Mandailing Angkola selama sembilan tahun (1848-1857). Seorang amtenar lulusan sekolah teknik, membangun jembatan Aek Godang dengan konstruksi kayu pada tahun 1848 dan jalan raya ekonomi ke pelabuhan Natal sepanjang kl. 90 kilometer yang selesai 1853. Mega proyek ini dibangun bersama penduduk dan raja-raja bersama Godon sendiri. Gubernur Pantai Barat Sumatera, Van Swieten, dua kali datang meresmikan jalan raya ekonomi ini, pada tahun 1851 dan 1853.
Godon juga membuka sawah-sawah baru, perkebunan rakyat terutama kopi dan penanaman kelapa di sepanjang jalan di kampung-kampung, menggalakkan tanaman pekarangan untuk kopi, membangun sekolah dll.
Ketika Godon bersama Sati Nasution gelar Sutan Iskander (kelak lebih dikenal dengan nama Willem Iskander), pada bulan Februari 1857, meninggalkan Panyabungan menuju Negeri Belanda, ribuan orang berbaris di jalan dengan wajah duka karena Godon meninggalkan mereka. Mereka berteriak: Tuan datanglah kembali (Mijnheer kom terug).
Trio ketiga, H. Amru Daulay, S.H. yang pada tahun 2002 pernah saya katakan kepada beliau, “Bapak adalah Godon masa kini”. Langkah kedua pendahulunya, Patuan Moksa dan Alexander Philippus Godon, dilanjutkannya, ialah membangun Mandailing Natal, dan mengubah nama Panyabungan menjadi Madina sebagai pusat bisnis untuk wilayah Sumatera Tenggara dan Pasaman.
Apa yang dilakukan oleh Bapak H. Amru Daulay, S.H. adalah lanjutan dari semua yang dilakukan oleh Patuan Moksa dan Alexander Phlippus Godon dengan melakukan inovasi baru sebagai tanggapan terhadap tuntutan zaman.
Atas segala prestasinya dalam banyak bidang itu, Bapak H. Amru Daulay, S.H. telah menerima banyak penghargaan dari dalam dan Luar Negeri. Ini merupakan bukti keberhasilan kinerjanya dalam mengemban tugas memajukan masyarakat Mandailing Natal. H. Amru Daulay, S.H. akan tercatat dalam sejarah Madina sebagai penembus terowongan waktu dalam membangun Madina.

[Read More!]
09:24:54 - rajungan - No comments

Dari Panyabungan ke Madina 2

PATUAN MOKSA PENDIRI PANYABUNGAN

Patuan Moksa berhasil memakmurkan penduduk Dori Soit. Orang luar pun datang berniaga ke Dori Soit. Pertumbuhan ekonomi di pusat lembah Mandailing Godang yang subur itu, maju pesat. Dori Soit tidak layak lagi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Patuan Moksa menanggapi perubahan itu dengan mengganti nama Dori Soit menjadi Panyabungan. Maka Patuan Moksa pun membangun pasar yang dinamainya Pasar Panyabungan. Patuan Moksa memilih lokasi paling strategis untuk Pasar Panyabungan satu setengah kilometer arah timur Panyabungan, ialah tepat di simpang empat sesuai arah mata angin, ialah: Gunung Tua di utara, Huta Siantar di timur, Pidoli di selatan, dan Panyabungan Tonga-tonga di barat.
Patuan Moksa sendiri berdiam di Panyabungan Tonga-tonga, nama baru dari Dori Soit. Bagas Godang, kediaman Patuan Moksa di Panyabungan Tonga-tonga sangat aman dan nyaman di tepi Aek Mata, dengan perlindungan yang kuat, terutama di holbung. Wilayah kerajaannya sangat luas mencakup Rambah di timur, Bonjol di selatan, Natal di barat dan Tobing di utara (Willer, 1845:268) (ten oosten tot Rambah, ten zuiden tot Bonjol, ten westen tot Natal, ten noorden tot tobing). Salah satu buktinya adalah Sultan Kota Pinang bermarga Nasution.
Orang luar pun semakin ramai datang berdagang di Pasar Panyabungan, di antaranya para pedagang Melayu yang datang membeli barang-barang besi, budak, berbagai hewan, kawat tembaga, perhiasan batu mulia, koral, tekstil halus yang mahal, permadani, porselen, garam dll. Barang-barang dagangan itu didatangkan dari Natal di Pantai Barat Mandailing. Pedagang Mandailing sendiri menjual serbuk emas yang mereka tukarkan dengan komoditi impor. Pasar Panyabungan pun menjadi pusat perdagangan komoditi ekspor dan impor. Sedemikian luasnya pasar ini, sampai kini masih ada nama Pasar Jae (Pasar Hilir) yang mengarah ke Panyabungan Tonga-tonga, Pasar Binatang dll. Kini Bapak H. Amru Daulay, S.H. membangun Madina Square di sebagian lokasi Pasar Panyabungan yang dibangun Patuan Moksa itu.
Sejak Patuan Moksa membangun Pasar Panyabungan, pasar ini bukan saja menjadi pusat perniagaan, tetapi juga menjadi pusat pencerahan. Pasar ini menjadi tempat terjadinya interaksi budaya dan ilmu pengetahuan, termasuk juga pusat hiburan antara lain atraksi adu ayam yang membuka peluang bagi perjudian. Pokoknya ketika itu, Pasar Panyabungan merupakan tempat mengadu nasib, di mana tumbuh semangat bersaing, menjadi pusat menyabung kepintaran, menumbuhkan perilaku egaliter, kesetaraan, menerima kehadiran orang luar yang membawa gagasan-gagasan pembaharuan.
Patuan Moksa telah berhasil membangun dinasti Marga Nasution Dahulat yang keturunannya menjadi raja-raja di Mandailing, Batang Natal, Natal (Patuan Natal saudara sepupu Sati Gelar Sutan Iskandar yang terkenal dengan nama Willem Iskander), Batahan dan Pasaman.
Patuan Moksa wafat di Panyabungan. Puteranya, Sutan Natoras, menggantikannya menjadi raja. Sutan Natoras pun wafat di Panyabungan. Cucu Patuan Moksa, Baginda Mangaraja Enda, adalah seorang raja Dinasti Nasution yang legendaris. Baginda Mangaraja Enda menikah dengan tiga wanita, ialah Boru Lubis dari Roburan, Boru Pulungan dan Boru Hasibuan.
Putera pertamanya yang dilahirkan oleh Boru Lubis dari Roburan dinobatkan menjadi Kuria Huta Siantar, ialah Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Huta Siantar. Raja muda ini dinobatkan dengan deklarasi pembagian wilayah kekuasaan Baginda Mangaraja Enda, dengan kekuasaan yang setara dengan kekuasaan ayahandanya, Baginda Mangaraja Enda.
Isteri kedua Baginda Mangaraja Enda, Boru Pulungan yang melahirkan Raja Sumorong dan Tuan Raja Sian. Sedangkan Boru Hasibuan melahirkan Raja Porkas.
Pertapakan rumah Baginda Mangaraja Enda itulah yang menjadi lokasi Bagas Godang milik Patuan Moksa. Kini Bagas Godang Baginda Mangaraja Enda itu masih dapat disaksikan di Panyabungan Tonga. Bangunan ini termasuk bangunan yang dilindungi oleh negara.
Kembali ke doa Si Sauwa yang diijabah oleh Allah SWT diucapkannya dengan penuh pasrah sesaat setelah Si Sauwa bersama anaknya baru saja lolos dari pengejaran para hulubalang Namora Pulungan. Doa yang dimuat oleh Willem Iskander dalam bukunya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk (Iskander, 1872:36) dikutip lagi di bawah ini, sbb.:
“Olo baya, Ompung Na Martua-tua nampuna tano! Madung dipangolu Amu danak on. Laing pangolu-olu Amu ia nian, ombang ratus ombang ribu, sayur matua bulung!” (Ya Tuhan yang bertuah, pemilik bumi! Engkau telah menghidupkan anak ini. Semoga hidupkanlah dia terus, berkembang beratus-ratus berkembang beribu-ribu sampai berusia lanjut!)

[Read More!]
09:21:45 - rajungan - No comments

Dari Panyabungan ke Madina 1

PENGANTAR

Ada dua pernyataan monumental Bapak H. Amru Daulay, S.H., Bupati Mandailing Natal, dalam rangkaian dialog kami pada tahun 2003, ialah:
Pertama, “Saya ingin meninggalkan nama baik di Mandailing Natal”. Kedua, “Saya ingin mengubah nama Panyabungan”. Pernyataan kedua ini beliau ulangi lagi pada tanggal 20 Januari 2010. Inilah yang alasan penulisan makalah ini.
Pernyataan pertama, telah direalisasikannya selama dua periode kepemimpinannya selaku Bupati Mandailing Natal. Siapa pun dapat menyaksikan perubahan spektakuler sebagai realisasi Misi dan Visi dalam pembangunan Mandailing Natal, yang meliputi sektor-sektor: pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, industri, perhubungan, telekomunikasi, pariwisata, koperasi, perdagangan, pendidikan, kesehatan, transmigrasi, tenaga kerja, keluarga berencana, olah raga, pertanahan, adat istiadat, pemberdayaan pemuda, agama dan Taman Nasional Batang Gadis.
Patut dicatat keunggulannya selaku birokrat paling senior di negeri ini, ialah penataan, pembangunan sistem kerja, rekruitmen pegawai, peningkatan sarana dan prasarana kerja, yang dimulai boleh dikatakan dari nol sampai menjadi seperti sekarang ini.
Daftar panjang keberhasilannya menjadikan Panyabungan, sebagai pusat perubahan Madina dalam pembangunan fisik, sarana dan prasarana peningkatan kesejahteraan masyarakat Madina. Sehingga, Madina tampil sebagai lokomotif perubahan di wilayah Smatera Tenggara.

[Read More!]
09:14:33 - rajungan - No comments

29 November

PAHLAWAN NASIONAL ADAM MALIK


OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP


Fabel Sang Pelanduk atau Si Kancil dalam khasanah sastra lama, memperlihatkan kecerdikan Si Kancil dalam berhadapan dengan makhluk besar seperti gajah, buaya dan harimau. Tak pernah Si Kancil dibina atau direkrut oleh binatang buas seperti buaya, gajah, harimau dan lain-lain. Justru sebaliknya, Si Kancil yang cerdik itu menjinakkan dan memanfaatkan hewan-hewan besar dan buas itu untuk meraih cita-citanya.

Si Kancil adalah julukan Si Bung, panggilan akrab Adam Malik (Pematang Siantar, 22 Juli 1917 - Bandung, 5 September 1984), karena ia seringkali mengamalkan gaya Si Kancil dalam mengatasi berbagai masalah bangsa yang pelik. Itulah sosok seorang nasionalis sejati yang lahir dan dibesarkan dalam kultur orang Mandailing yang kuat mengajarkan bahwa harta paling mahal setelah keimanan adalah pendirian. Kedua harta termahal itu tak pernah digadaikan apa pun tantangannya.

[Read More!]
23:28:39 - rajungan - No comments

18 October

KORBAN PERANG PADRI MINTA PELURUSAN SEJARAH

Kamis, 16 Oktober 2008
20:21 WIB

Pengantar dari saya terhadap berita ini, sbb.:
Tulisan ini diangkat oleh Redaksi KOMPAS Edisi Sumbagut dari artikel yang saya kirimkan 16 Oktober 2008, berjudul Perang Paderi Bukan Perang Agama dan mereka menyiarkannya dalam Kompas.Com di bawah judul Korban Perang Padri Minta Pelurusan Sejarah yang diluncurkan hari Kamis, 16 Oktober 2008, pukul 20.21 WIB. Teks lengkap artikel itu saya luncurkan di Blog saya pada 18 Oktober 2008. Sayangnya, 18 Oktober 2008, KOMPAS Cetak Edisi Sumbagut mengubah artikel itu menjadi Padri: Korban Perang Minta Pelurusan Sejarah dengan menghilangkan kata “gegabah” dalam kritik saya terhadap pendapat pemakalah di Unimed itu yang memandang Perang Paderi sebagai gerakan yang positif dan mengganti kata "memperlihatkan" dengan kata "mengatakan" dua naskah kuno Mandailing kepada Dr. Herman Neubronner van der Tuuk oleh Asisten Residen Mandailing Angkola, Alexander Philippus Godon. Artikel itu adalah hasil riset, liputan tentang peristiwa yang spektakuler dalam sejarah Indonesia. Hal ini perlu saya tegaskan, agar artikel itu jangan dipandang merupakan reaksi pribadi sebagai korban Perang Paderi.*** Basyral Hamidy Harahap.


MEDAN, KAMIS - Polemik soal Perang Padri mendapat tanggapan sejarawan sekaligus mereka yang menjadi korban. Mereka meminta pelurusan sejarah sehingga bisa dipahami secara arif generasi berikutnya. Ada hal-hal dalam Perang Padri yang menyimpan luka mendalam bagi korban perang .
Hal ini disampaikan sejarawan melalui surat elektroniknya yang diterima Kompas, Kamis (16/10) di Medan. Gerakan radikal Padri tidak bisa dipandang sebagai suatu yang positif. Apalagi gerakan radikal Padri dipandang mampu mengisi dan mendinamisasi perubahan sosial saat itu, kata pemerhati sejarah Basyral Hamidi Harahap.
Basyral membantah kesimpulan tersebut. Penilaian terhadap Perang Padri seperti itu dia anggap gegabah. Tragedi kemanusiaan yang luar biasa tidak bisa dinafikan. Bukan saja di wilayah budaya Minangkabau, tetapi juga di Tapanuli, kata penulis buku Greget Tuanku Rao ini.
Menurut dia Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam dalam sejarah Indonesia abad ke-19. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan terhormat.
Dalam Perang Padri banyak sekali naskah sejarah yang hilang. Beberapa di antaranya berhasil diselamatkan oleh Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857), Alexander Philippus Godon. Dia memperlihatkan naskah kuno Mandailing kepada Herman Neubronner van der Tuuk ketika berkunjung ke Panyabungan bulan Maret 1852. Buku berisi berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, dan pengobatan.



Motivasi
Sampai sekarang, kata mantan peneliti KITLV (pusat kebudayaan Belanda) ini, motivasi pemusnahan naskah kuno itu belum jelas. Basyral sendiri merupakan korban Perang Padri karena nenek moyangnya tewas dalam pertempuran di Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Dia sepakat bahwa Perang Padri merupakan perang dagang semata. Penyerbuan Padri ke Sumatera Utara juga terjadi lantaran habisnya logistik di Sumatera Barat.
Respons Basyral ini muncul setelah ada bedah buku berjudul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri karya Christine Dobbin. Bedah buku ini digelar oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan (Unimed), Selasa (14/10) lalu. Dalam diskusi itu hadir antropolog Unimed Usman Pelly dan Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut Nur Ahmad Fadhil Lubis.
Kepala Pussis Unimed, Ichwan Azhari mengatakan perdebatan tentang Perang Padri penting dikembangkan secara akademis. Diskusi ini , katanya, justru semakin bagus untuk meletakkan wacana bahwa sejarah tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Selama ini Perang Padri banyak dilihat dari satu pihak. Belum banyak pendapat ilmiah dari sudut pandang korban perang, katanya.
Dalam persoalan ini, perlu muncul pandangan orang luar seperti pandangan Dobbin tentang Perang Padri. Dikursus tentang ini tidak harus dibatasi oleh masing-masing klaim kebenaran.
07:54:00 - rajungan - No comments

17 October

CAHAYA PERTAMA PENERANG SUMATERA


OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP


Judul : Sejarah Sumatra
Judul asli : The History of Sumatra
Penulis : William Marsden
Pengantar : John Bastin
Penerbit : Komunitas Bambu, 2008
Tebal : xxvi, 446 halaman


William Marsden telah melemparkan cahaya ke atas Pulau Sumatera dengan The History of Sumatra, sehingga semua tampak terang di pulau yang sangat penting itu. Itulah pernyataan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles pada 24 April 1813 ketika membuka diskursus dalam acara HUT XXV Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (The Society of Arts and Sciences in Batavia).
William Marsden (1754-1836) adalah seorang sejarawan Inggris terkenal, berdarah Irlandia kelahiran Dublin. Ia anak laki-laki keenam dan anak kesepuluh dari John Marsden, direktur Bank Nasional Irlandia (The National Bank of Ireland). Ia juga ahli bahasa, pakar numismatik dan pelopor ethnohistory Hindia Timur.
Marsden memang seorang yang fenomenal melalui bukunya The History of Sumatra. Edisi pertama buku itu terbit di London 1783, kedua 1784 dan ketiga 1811. Selain menulis The History of Sumatra, Marsden juga menulis dua buku penting lainnya, A Grammar of Malayan Language dan A Dictionary of the Malayan Language yang diterbitkan tahun 1812 di London. C.P.J. Elout –sebelum menjabat Residen dan Komandan Militer Riau kemudian Residen dan Komandan Militer Pantai Barat Sumatera– telah menerjemahkan kedua buku ini ke dalam bahasa Belanda, masing-masing diterbitkan tahun 1824 dan 1825 di Haarlem.
Karya Marsden yang lain adalah Catalogue of Dictionaries, Vocabularies, Grammars and Alphabets, terbit 1796, Numismata Orientalia, terbit di London 1823-1825, beberapa makalah yang dimuat dalam Philosophical Transactions, dan Archaelogia. Marsden juga menerjemahkan kisah perjalan Marco Polo di bawah judul Travels, terbit 1818.
Marsden kembali ke Inggris 1779. Ia menghadiahkan koleksi koin dari negeri timur kepada The British Museum dan koleksi buku-buku dan manuskrip dunia timur kepada King's College, London. Koleksi yang sangat berharga itu kini disimpan di perpustakaan School of Oriental and African Studies, University of London.
Walaupun banyak karya tentang Sumatera, namun karya klasik Marsden itu tetap istimewa. Nama Marsden melambung dan dikenang tak lain karena The History of Sumatra yang telah menjadi rujukan sejagat.
Karya Marsden itu begitu memukau. Sudah 225 tahun, –terhitung dari edisi pertama 1783– pembaca seantero dunia menikmati karya klasik yang monumental itu. Karya Marsden itu sudah teruji dan terbukti sebagai –sekali lagi meminjam Raffles– “cahaya … sehingga semua tampak terang di Pulau Sumatera”. Sebab itu pula Oxford University Press mencetak ulang The History of Sumatra pada 1966. Sejarawan kawakan Inggris, John Bastin dari School of Oriental and African Studies, bertindak sebagai editor sekaligus menulis pengantar. Sekarang orang ramai dapat menikmati terjemahan bahasa Indonesia buku ini.

Karya Ensiklopedik
Pada usia 16 tahun Marsden menjadi pegawai Kongsi Dagang Inggris, East India Company (EIC). Kemudian pada usia 17 tahun, 1771, ia mengikuti jejak abangnya, John Marsden (1746-1786) yang menjadi dokter di Lais, Bengkulu. William Marsden ditempatkan di Bengkulu sebagai sekretaris EIC. Abangnya, dokter John Marsden, adalah salah seorang nara sumbernya. Saat itulah ia mulai mengerjakan proyek ambisiusnya yang bersifat ensiklopedik mengenai Sumatera, pulau yang pada zamannya masih begitu pekat diliputi misteri.
Cara kerja Marsden tak ubahnya seorang wartawan yang melakukan liputan pandangan mata sekaligus membuat laporan investigasi yang terinci dan mendalam. Menurut Marsden, kebanyakan orang Sumatera tidak pernah melihat laut, sehingga mereka tidak menyadari bahwa tempat tinggalnya adalah pulau. Marsden sendiri menjelajah kawasan pantai dan pedalaman Sumatera. Ia menceritakan keadaan pulau-pulau kecil di pantai barat dan pantai timur Sumatera. Sebab itu, buku ini boleh disebut sebagai buku sejarah ilmu bumi sosial dan ekonomi yang akurat.
Marsden bercerita tentang karakter orang Sumatera, mulai dari Aceh di ujung utara sampai ke Lampung di selatan. Laporannya cukup terinci tentang berbagai tradisi dan hukum adat di pulau itu. Ia mencatat berbagai kearifan lokal, ekologi, cuaca, sistem angin, sungai, pelabuhan di muara sungai, dataran, bukit, gunung, flora beragam-ragam buah, tanaman obat dan aneka ragam bunga. Digambarkannya berbagai fauna, mulai dari serangga, kura-kura sampai pada burung walet dan sarangnya yang lezat serta berkhasiat. Selain itu ia memaparkan fakta sejarah, kehidupan masyarakat, arsitektur tradisional dan pakaian penduduk Sumatera.
Menurut Marsden, Sumatera memiliki potensi ekonomi sangat kuat, di antaranya komoditi perdagangan baik hasil hutan dan bahan mineral, maupun rempah-rempah yang sejak zaman purbakala menjadi komoditi andalan. Marsden juga mengulas cara-cara bercocok tanam, ekstensifikasi pertanian dan perkebunan penduduk, termasuk cara-cara menangkal dan mengusir hama tanaman. Marsden pun memberikan perhatian khusus pada tradisi, hukum, bahasa, aksara, kebudayaan, penduduk asli Pulau Sumatera dan berbagai masalah yang timbul dalam kontak dengan orang asing.
Marsden menyebutkan, emas berkualitas paling tinggi terdapat di Natal dan Mukomuko. Timah di Bangka diekspor ke Cina. Barang dagangan utama di pulau itu adalah tembaga, besi, belerang, salpater, tripang, lemak lebah, gading, dan telur ikan. Menarik sekali, harga sarang burung layang-layang yang putih bening diekspor ke Cina. Harganya setara dengan harga perak dengan berat yang sama.
Marsden menyebutkan, sumbangan besar saudagar Arab yang menyebarkan agama dan tamadun Islam di daerah ini di antaranya adalah memperkenalkan kalender yang menghitung hari dari peredaran bulan. Sedangkan penduduk asli hanya mengandalkan peredaran musim.
Begitu rincinya, Marsden menjabarkan ihwal setiap orang tua di Sumatera adalah tabib. Mereka melakukan terapi air dan terapi panas matahari. Terapi paling unik adalah pengobatan penyakit gila. Penderita diterapi dengan api. Pasien dibakar di pondok setinggi telinga, kalau pasien berhasil meloloskan diri, berarti ia akan segera sembuh.

Pembicara Ulung
Menurut catatan Marsden, di antara bahasa lokal Sumatera yang terkemuka adalah bahasa Batak, Rejang dan Lampung. Ada kemiripan antara aksara suku Batak dan Rejang. Satu pengecualian terjadi di Aceh, bahasanya sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Aceh lebih banyak mengadopsi karakter Arab. Mereka menyadari hal itu. Mereka pun tidak banyak mengklaim originalitasnya.
Paparan tentang Aceh disuguhkan oleh Marsden sepanjang 44 halaman atau 10% dari seluruh halaman buku ini. Lantas 36 halaman tentang Minangkabau dan 26 halaman tentang Batak. Paparan yang terbanyak adalah tentang Bengkulu dan wilayah sekitarnya. Wajar, karena Marsden berdiam di Bengkulu, sehingga lebih banyak mendapat informasi tentang daerah itu.
Menurut Marsden, orang Sumatera umumnya adalah pembicara yang ulung. Kemampuan berorasi tampaknya adalah bawaan mereka. Pantas saja, tidak ada pengacara dalam proses peradilan. Kemampuan ini ditanamkan sejak remaja pada anak-anak mereka dengan cara membiasakan anak-anak mereka duduk mendengarkan perdebatan di lingkaran orang-orang dewasa. Anak-anak kecil ini memiliki hak berbicara yang bahkan sama dengan hak bicara kakeknya sendiri. Mereka berhak dan mampu memberikan pendapat di depan publik.
Beberapa wilayah terpenting di Tanah Batak menurut Marsden adalah Angkola yang dihuni lima suku, Mandailing dihuni tiga suku, Toba dihuni lima suku, Padang Bolak, Silindung dan Singkil. Contoh aksara Batak (baca: Mandailing) yang dicetak oleh Marsden, merupakan yang paling awal dalam sejarah aksara tersebut. Menarik untuk disimak, bahwa menurut Marsden penduduk Pasaman adalah orang Batak (baca: Mandailing) yang telah menganut agama Islam dan orang Melayu. Marsden juga melaporkan keadaan pelabuhan Natal, dan pelabuhan di muara sungai di pantai barat Mandailing itu, seperti Tabuyung dan Kunkun. Tidak terkecuali, disinggung juga cerita tentang kanibalisme di wilayah budaya Batak.
Marsden mulai memasuki Tapanuli pada 21 Juni 1772 dengan naik perahu ke muara Sungai Pinangsori, terus ke Lumut. Marsden dan rombongan disambut meriah dengan 30 kali tembakan salvo.
Pria bule yang belia, yang fasih berbahasa Melayu, tampan, berperawakan atletis, berkumis tipis dengan mengenakan Topi London itu, tiba di Hutaimbaru, pusat Angkola, pada 5 Juli 1772. Ia dijemput dan dielu-elukan oleh putera Kuria Hutaimbaru bersama 30-40 orang hulubalang bersenjata lembing dan senapan locok. Sepanjang jalan para penjemput itu memeriahkan suasana dengan memukul gong dan menembakkan bedil ke udara. Tiba di Hutaimbaru mereka disambut dengan upacara yang semarak. Marsden dengan senang hati menerima undangan Kuria Hutaimbaru untuk bermalam di kampung itu. Pada 7 Juli 1772, putera Kuria Hutaimbaru dengan pasukannya mengawal Marsden meneruskan perjalanan menuju Batang Onang di Barumun.
Melalui rute yang lain, Marsden tiba kembali di pantai barat pada 22 Juli 1772. Begitulah rata-rata sambutan orang Sumatera kepada Marsden. Rahasia sukses Marsden antara lain adalah penguasaan bahasa Melayu, pemahaman berbagai bahasa daerah dan etika di Pulau Sumatera, dan sudah barang tentu sikapnya yang simpatik tanpa pernah melanggar nilai-nilai kepatutan.

Terowongan Waktu
Bagi mereka yang berasal dari Sumatera, buku Sejarah Sumatra ini dapat menjadi rujukan sejarah kampung halamannya. Apalagi, Marsden suka menyebut nama orang yang barangkali adalah tokoh dalam daftar silsilah keluarga mereka. Sedangkan bagi mereka yang bukan orang Sumatera, tapi ingin mengetahui ihwal Sumatera secara cepat dan padat, maka buku ini adalah pilihan yang tepat. Laporan Marsden yang inspiratif sangat berguna bagi mahasiswa jurnalistik, pemerhati pembangunan pedesaan, antropolog, sosiolog, ahli hukum, sejarawan dan peminat laporan perjalanan.
Ada satu kekurangan buku ini, ialah penulisan kata Sumatra tanpa huruf “e” karena mengikuti buku aslinya. Namun, edisi bahasa Indonesia buku Marsden ini benar-benar telah ditangani sedemikian rupa. Sehingga, gaya jurnalistik, citra kesejarahan dalam laporan Marsden tampil sangat kuat. Pemilahan topik di bawah sub judul memudahkan pembaca mencerna penuturan Marsden. Bahkan menjadi semakin afdol, karena penerbit mengambil inisiatif memasukkan banyak gambar sezaman yang tidak ada di dalam buku aslinya sendiri. Ini bukan saja akan menguatkan imajinasi historis pembaca, tetapi lebih jauh lagi, buku ini mampu membawa pembaca memasuki terowongan waktu untuk berkelana di Pulau Sumatera dalam suasana abad ke-18.

(Basyral Hamidy Harahap,
pemerhati masalah sosial budaya Mandaling, penulis buku Greget Tuanku Rao, 2007)

23:35:43 - rajungan - No comments

PERANG PADERI BUKAN PERANG AGAMA



OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP



Apa dan Siapa Christine Dobbin

Buku Christine Dobbin (1941-), Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847 pertama kali diterbitkan oleh Curzon Press bekerjasama dengan Scandinavian Institute of Asian Studies, sebagai Monograph Series No. 47 pada tahun 1983. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Nordic Institute of Asian Studies, disingkat menjadi NIAS. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) tahun 1992, di bawah judul Kebangkita Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847. Enam belas tahun kemudian, 2008, Penerbit Komunitas Bambu di Depok menerbitkan lagi edisi bahasa Indonesia buku ini di bawah judul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847.
Judul karya Christine Dobbin tersebut, menegaskan bahwa Christine Dobbin adalah sarjana sejarah yang mengenal dan benar-benar memahami Islam. Saya telah membaca seluruh halaman buku Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 termasuk kickers. Kalimat panjang 56 kata Prof.Dr. Taufik Abdullah pada halaman kulit IV itu, adalah kutipan dari kumpulan esai Prof.Dr. Taufik Abdullah Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia yang diterbitkan oleh LP3ES 1987.
Setelah membaca dengan tekun buku Christine Dobbin itu, saya berkesimpulan bahwa Perang Paderi sangat sarat dengan perilaku dagang semasa kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Itu sebabnya judul resensi buku Christine Dobbin tersebut yang dimuat KOMPAS, 27 Juli 2008, menjadi Perang Dagang di Sumatera Barat.
Disertasi Christine Dobbin sendiri adalah tentang kepemimpinan di Kota Bombay, India Barat di bawah judul Urban Leadership in Western India: Politics and Community in Bombay City 1840-1885, diterbitkan di London oleh Oxford University Press, 1972. Sebelumnya, Christine Dobbin sudah menulis sejumlah buku, di antaranya Basic Documents in the Development of India and Pakistan di terbitkan di London oleh Van Nostrand, 1970. Asian Entrepreneurial Minorities: Conjoint Communities in the Making of the World Economy, 1570-1940 diterbitkan di London oleh Richmond, Surrey (Curzon Press Ltd.) yang juga diterbitkan dalam terbitan berseri Scandinavian Monograph Series No. 71, 1996.
Pada tahun-tahun terakhir, Christine Dobbin melakukan riset tentang sejarah gagasan-gagasan (history of ideas) di dunia Timur dan dunia Barat, dan juga tentang hubungan agama dan pembangunan ekonomi. Kini Christine Dobbin adalah salah seorang peneliti di Australian National University di Canberra dan menjadi penasihat Departemen Luar Negeri Australia dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan di Indonesia.
Sejumlah artikelnya yang lain adalah: Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement 1784-1830 diterbitkan dalam majalah terkemuka tentang studi Indonesia, Indonesia (Cornell University), vol. xxiii (1970). The Exercise of Authority in Minangkabau in the late 18th Century yang dimuat dalam buku suntingan Anthony Reid dan Lance Castles, Pre-Colonial State Systems in Southeast Asia diterbitkan di Kuala Lumpur, 1975. Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth Century yang dimuat dalam Modern Asian Studies, vol. viii (1974) di London. Kemudian artikel Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) yang dimuat dalam majalah Indonesia (Cornel University) vol. xiii (1972).


Bedah Buku di Unimed

Buku Christine Dobbin Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 ini dibedah di Unimed pada 14 Oktober 2008. Ikut berbicara dalam seminar itu sebagai pemakalah pertama Prof. Usman Pelly, dan Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis sebagai pemakalah kedua. Sedangkan Prof. Antonius Bungaran Simanjuntak bertindak sebagai pembahas.
Harian KOMPAS Edisi Sumbagut, 15 Oktober 2008 memberitakan, bahwa Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis menyimpulkan bahwa Christine Dobbin kurang memahami Islam. Saya mendapat kesan, bahwa Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis belum membaca buku itu secara tuntas. Karena kesimpulan itu tidak akan muncul dari orang yang sungguh-sungguh membaca buku itu. Pasalnya, kata kunci Islam yang dimunculkan pada judul dan pembahasannya di dalam buku, adalah tentang sejarah masuknya Islam dan keberagamaan orang Minangkabau. Hal itu cukup membuktikan bahwa Christine Dobbin memahami Islam dengan baik.
Apakah dalam setiap pembicaraan tentang pergerakan Islam itu harus disertai keharusan menuliskannya dalam kisah-kisah heroik yang gegap gempita, dan jika tidak, penulisnya jadi kurang memahami Islam?
Sosiolog Prof. Usman Pelly lebih memandang gerakan radikal Padri sebagai suatu yang positif. Katanya, gerakan radikal Paderi tidak hanya mampu mengisi dan mendinamisasi perubahan sosial, tetapi juga memberikan perlindungan dan pengayoman kehidupan ekonomi baru yang mulai berkembang pada saat itu. Dan bahwa, kaum Padri merasa mendapat tugas sejarah untuk memulai sebuah perubahan radikal dari bawah.
Kesimpulan Prof. Usman Pelly ini bukan saja keliru tetapi juga sangat gegabah. Karena ia telah menafikan tragedi kemanusiaan yang luar biasa yang dilakukan oleh kaum Padri, bukan saja di wilayah budaya Minangkabau, tetapi juga di Tapanuli. Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam dalam sejarah Indonesia abad XIX. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan terhormat.
Kalau begini cara berpikirnya, apakah kita harus memuji Daendels, penguasa yang telah membangun jalan ekonomi dari ujung ke ujung Pulau Jawa dari Anyer ke Panarukan, sementara proses pembangunannya sendiri menimbulkan tragedi kemanusiaan yang luar biasa?


Penghancuran Tamadun Batak

Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857), Alexander Philippus Godon, memperlihatkan kepada Dr. Herman Neubronner van der Tuuk ―ketika berkunjung ke Panyabungan bulan Maret 1852―, dua buku besar naskah Mandailing. Buku itu berhasil diselamatkan orang Mandailing dari kebringasan kaum Paderi yang membakari buku-buku di wilayah Tabagsel. Padahal, buku-buku itu berisi berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, pengobatan dll.
Apa motivasi pemusnahan itu belum jelas, bisa saja disebabkan kebodohan kaum Paderi yang tidak mampu membaca aksara Mandailing, sehingga mereka ingin memusnahkannya. Ini merupakan bagian dari tragedi dan upaya penghapusan tamadun Mandailing. Maklumlah, sampai kini kita belum pernah membaca buku yang beraksara Minangkabau, karena mungkin mereka tak memiliki aksara sendiri.
Menarik penuturan Dr. Herman Neubronner van der Tuuk dalam Een Vorst Onder de Taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk Taalafgevaardigde voor Indië van het Nederlandsch Bijbelgenootschap 1847-1873: Een bronnenpublicatie bezorgd door Kees Groeneboer. . - Leiden: KITLV, 2002. - p. 123, bahwa dalam perjalanannya ke Panyabungan pertengahan Maret 1852 itu, ia beristirahat di warung kopi di Aek Sijorni di tepi Batang Angkola di dekat simpang ke kampung Bulu Gading. Van der Tuuk melihat seseorang membaca bagian dari satu buku beraksara Mandailing dalam bahasa Melayu berjudul Hikajat Toeankoe Orang Moeda. Halaman judul buku itu ditulis dengan aksara Arab gundul sedangkan isinya dengan aksara Mandailing berbahasa Melayu.
Beruntung, kecerdasan lokal ini tidak punah secara total, karena masih ada buku beraksara Mandailing yang selamat dari kezaliman kaum Paderi. Sehingga tradisi menulis buku dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan humaniora pada orang Mandailing masih berlanjut.


Perang Dagang

Saya sependapat dengan antropolog Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak yang mengatakan, bahwa Perang Paderi bukanlah perang agama. Menurut penelitiannya, serbuan kaum Paderi ke Tapanuli Selatan adalah karena habisnya logistik di Sumatera Barat.
Kuatnya semangat dagang orang Minangkabau dan kaum Padri digambarkan oleh Christine Dobbin secara gamblang. Beberapa penjelasan tentang semangat dagang kaum Paderi antara lain ditulis oleh Christine Dobbin pada halaman 260, 261, 280, 281 sbb.:
Pada kira-kira tahun 1812, Bonjol mulai menarik penduduk dari tempat-tempat lain di Minangkabau. Mereka datang untuk mengkaji ajaran Padri maupun untuk ikut serta dalam perdagangan desa yang sedang berkembang. Sama seperti pemimpin utama Padri lainnya, Imam Bonjol ingin membuat kampung halamannya menjadi pusat dagang yang penting. Dalam memoarnya disebutkan bahwa segera setelah ia mendirikan tempat pemukiman itu, ia menanam padi dan pohon buah-buahan dan mendirikan tempat peternakan sapi dan kuda. Selanjutnya, ia berkata bahwa kira-kira pada tahun 1812, Bonjol “begitu makmur berkat meningkatnya industri dan perdagangan sehingga banyak orang datang ke situ karena tertarik pada murahnya harga bahan makanan sebab beras, ternak, dan kuda tersedia berlimpah”. Tambahan lagi, setelah benteng desa lebih disempurnakan dan penduduknya dipersenjatai dengan layak, “mereka memusatkan diri sepenuhnya pada perdagangan. Dengan menikmati keadaan damai dan bersatu, kemakmuran nagari Bonjol makin lama makin bertambah dan pedagang-pedagang dari tempat lain banyak yang datang ke sini” (hal. 260).
Walaupun sulit dibedakan antara yang suci dan yang duniawi, keadaan menjadi lebih mudah oleh kenyataan bahwa Imam Bonjol dengan cepat menjadi pemimpin perang dan perhatiannya tertuju pada hal lain. Kepada murid-muridnya yang berbondong-bondong datang ke Bonjol, ia memberikan latihan silat. Kemudian, ia membentuk pasukan khusus setelah kedudukannya di lembah cukup kuat untuk menyatakan jihad kepada daerah sekitarnya. Ia lalu mengembangkan pola serbuan tahunan ke daerah-daerah sekitarnya dan pasukan Bonjol selalu kembali dengan hasil rampasan yang cukup banyak. Setelah menang perang, mereka beristirahat untuk bercocok tanam selama satu tahun sebelum melakukan serbuan lain. Serbuan-serbuan ini biasanya dilakukan atas permintaan salah seorang pemimpin Padri. Pada diri mereka bercampur erat semangat agama dan keserakahan manusiawi. Diberitakan pada suatu penyerbuan di Agam, orang Bonjol tidak saja kembali dengan membawa ternak rampasan, melainkan juga piring, cangkir, kuali, dan alat keperluan rumah tangga lainnya (hal. 261).
Kebanyakan perdagangan produk Batak pun berada di tangan orang-orang Minangkabau. Oleh sebab itu, serbuan pasukan Padri ke Mandailing dan hulu Barumun hanya merupakan satu tahap lain dalam pembebasan yang terus menerus dari dunia Minangkabau ke dunia Batak yang telah berlangsung berabad-abad (hal. 280).
Tidak mengherankan jika Imam Bonjol memalingkan matanya ke utara, ke arah tetangganya yang kaya, setelah ia menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang. Lembah yang panjang dan sempit di sebelah lembahnya menampakkan kemakmuran yang cukup besar. Para pemimpin masyarakat Padri di Alahan Panjang menyadari bahwa kepemilikan atas tambang emas Rao pasti akan memberikan dimensi ekstra pada jaringan dagang yang hendak mereka ciptakan. Selain itu, tenaga kerja dari lembah itu juga merupakan tambahan yang sangat diharapkan. Imam Bonjol memulai serbuannya ke Rao dengan mengawasi pembuatan jalan yang baik ke Lubuk Sikaping, desa utama di ujung selatan lembah (hal. 281).


Tuanku Imam Bonjol Ingin Bebas

Dua kalimat terakhir Christine Dobbin dalam buku ini pada halaman 379 edisi bahasa Indonesia dan halaman 244 teks aslinya, sbb.: “Lebih dari segalanya, sejarahnya telah mencerminkan keinginannya. Hal itu telah diungkapkan oleh Imam Bonjol sebelum ia ditangkap, yakni menjadi “seorang Melayu yang bebas” (hal. 379). [More than anything his history has reflected his wish, expressed by Imam Bonjol before his capture, to be “a free Malay”].
Wallahualam bis sawwab (DanAllah Maha Tahu sesungguhnya).


(Basyral Hamidy Harahap, pemerhati sosial budaya Mandailing dan penulis buku Greget Tuanku Rao, 2007)
23:18:20 - rajungan - No comments

06 September

PERANG DAGANG DI SUMATERA BARAT

BASYRAL HAMIDY HARAHAP

KOMPAS, Minggu 27 Juli 2008
Artikel Rosihan Anwar, ”Perang Padri yang Tak Anda Ketahui”, yang dimuat oleh ”Kompas”, 6 Februari 2006, menyoroti sisi gelap Perang Paderi. Tulisan Rosihan itu bersumber pada buku yang disusun oleh sejarawan militer Belanda, G Teitler, berjudul ”Het Einde van de Paderieoorlog: Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837: Een bronnenpublicatie.”
Rosihan, dalam artikelnya itu, bercerita tentang kebiasaan kaum Paderi menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves).
Ada satu buku lagi yang mengupas dinamika perubahan yang luar biasa dalam kehidupan ekonomi dan gerakan purifikasi ajaran Islam di Minangkabau. Dalam proses perubahan itu timbul banyak konflik yang mengakibatkan terjadi tragedi kemanusiaan. Buku itu ditulis sejarawan Christine Dobbin, berjudul asli Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847 (Curzon Press, 1983).
Dobbin mengawali paparannya secara detail tentang ekologi sosial dan topografi Minangkabau, tentang tantangan dan anugerah alam dalam gerakan perdagangan masyarakat Minangkabau. Kita terkesima membaca buku ini. Ternyata masih banyak yang tidak kita ketahui tentang perubahan sosial yang spektakuler dan tentang gerakan Paderi di Minangkabau dan Tapanuli.
Kurang lebih 75 persen dari buku bercerita tentang dinamika perubahan orang Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pantai barat dengan segala masalah yang ditimbulkannya, pertambangan emas dan besi, industri rumah, perbengkelan alat pertanian, senjata tajam dan bedil, pertukangan, pertenunan, perkebunan komoditi ekspor, persaingan dan perang dagang dengan Belanda. Hal itu terjadi sejak berabad sebelum timbul gerakan Paderi.
Menarik untuk disimak bahwa berabad sebelum lahirnya gerakan Paderi, agama Islam sudah lama berkembang di Natal, pantai barat Mandailing, Tapanuli Bagian Selatan. Hal ini terbukti dengan kehadiran Tuanku Lintau, seorang kaya, penduduk asli Lintau di Lembah Sinamar, yang datang ke Natal untuk belajar agama Islam. Kemudian Tuanku Lintau meneruskan pendidikannya ke Pasaman yang juga didiami orang Mandailing yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal. [Read More!]
23:30:00 - rajungan - No comments

28 January

IHWAL KELAHIRAN GREGET TUANKU RAO

KARYA BASYRAL HAMIDY HARAHAP TERBITAN KOMUNITAS BAMBU

(Catatan Kecil untuk Ahli Waris MOP)




Berangkat dari berita diskusi Perang Paderi di Arsip Nasional 22 Januari 2008, ahli waris MOP menanyakan soal pengakuan Basyral Hamidy Harahap penulis buku Greget Tuanku Rao, komunitas Bambu, 2007, di forum diskusi itu ihwal asbabul nuzul bukunya. Basyral Hamidy Harahap mengatakan bahwa bukunya berasal dari kata pengantar buku Tuanku Rao karya MOP yang tidak jadi dipakai. Pasalnya, ahli waris menolak buku papinya diterbitkan ulang dengan pengantar. Maka pengantar itu pun kemudian diminta diluaskan oleh penerbit hingga menjadi buku.

Sebab itu disini, saya JJ Rizal, mewakili Komunitas Bambu, mencoba mendudukan persoalan itu agar menjadi lebih jembar dan tidak menimbulkan salah paham.

Pada 16 November 2006, dalam sebuah acara Pekan Sejarah I di FIB UI yang diselenggarakan Komunitas Bambu, Onghokham Institut dan FIB UI, seorang pembicara Adji Damais menyarankan kepada saya sebagai orang Komunitas Bambu untuk menerbitkan buku Tuanku Rao karya MOP. Di depan peserta seminar ia katakan, “Itu buku cerita yang menarik juga kontroversi. Penerbitan ulang di jaman ilmu sejarah telah berkembang tentu akan memberikan nuansa lain”, katanya. Tetapi ia menggaris bawahi usulnya itu, supaya dalam penerbitan baru itu sebaiknya buku cerita itu diberi pengantar oleh seorang ahli mengenai Islam di daerah Batak.

Saat itu juga, saya langsung berdiri dan menyatakan: “Sudah disiapkan Pak, tinggal mencari ahli warisnya”. Kemudian Pak Adji menyatakan akan membantu juga mencarikan jalan untuk menemukan ahli waris MOP. Sayang ia tak berhasil membantu menemukan sang ahli waris MOP.

Meski demikian saya sangat setuju dengan saran Pak Adji. Kalau hendak menerbitkan ulang buku itu memang sebaiknya diberi pengantar oleh seorang ahli tentang Islam dan Batak. Saya sadar betul bahwa bagaimanapun harus pandai-pandai memainkan sisi idealis dan komersial. Dari segi komersial, tentu saja buku itu dengan kontroversi dan mitos pelarangannya, sudah mempunyai nilai jual yang tinggi kelak ketika masuk pasar. Bahkan, ia telah mempunya pasar yang telah berjaga dengan “mulut menganga siap mencaplok” begitu turun cetak.
[Read More!]
19:45:27 - rajungan - No comments

27 January

GREGET TUANKU RAO DILARANG ?

LAPORAN DARI SEMINAR SEJARAH PERANG PADERI



GAGASAN

Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Dr. Joko Utomo, dalam pidato pembukaan Seminar Sejarah Perang Paderi 1803-1838 di Gedung ANRI pada tanggal 22 Januari 2008, mengungkapkan bahwa Dr. Saafroedin Bahar adalah penggagas penyelenggaraan seminar ini. Gagasan itu dikemukakan oleh Dr. Saafroedin Bahar dalam pertemuannya dengan Dra. Mona Lohanda dan Dr. Joko Utomo sendiri. Pihak ANRI menerima baik gagasan ini, karena ANRI adalah lembaga yang menyimpan memori kolektif bangsa, penyimpan sumber-sumber sejarah yang otentik dan kredibel serta memberikan akses seluas-luasnya kepada peneliti, masyarakat untuk kepentingan pemerintahan, pembangunan, penelitian, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan demi kemaslahatan bangsa.

Di bagian lain sambutannya, Dr. Joko Utomo mengemukakan bahwa sudah sejak lama ada perdebatan tentang Tuanku Rao. Pada bulan Juli 1969 diselenggarakan seminar di Padang yang menampilkan dua pembicara utama yang berdebat seru, ialah Hamka dan Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP) berkaitan dengan buku yang ditulis oleh MOP berjudul Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak 1816-1833 yang diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan di Jakarta tahun 1964.

Sepuluh tahun kemudian Hamka menerbitkan buku sanggahannya terhadap buku yang ditulis oleh MOP itu berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao: Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang di Jakarta pada tahun 1974.

Dr. Joko Utomo juga mengemukakan bahwa, G. Teitler menyusun buku Het Einde van de Padrie-oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bonjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie yang diterbitkan oleh De Bataafsche Leeuw di Amsterdam pada tahun 2004.

Menurut Dr. Joko Utomo, hal itu mencuat kembali setelah buku Tuanku Rao karya MOP diterbitkan oleh LKIS Bantul pada bulan Juni 2007, dan terbitnya karangan Basyral Hamidy Harahap berjudul Greget Tuanku Rao yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu di Depok pada bulan September 2007.

Redaksi Majalah TEMPO menganggap masalah ini sangat serius, maka Majalah TEMPO nomor 34, 15-21 Oktober 2007 memuat tulisan berjudul “Kontroversi Kebrutalan Kaum Paderi”.
[Read More!]
05:30:59 - rajungan - No comments

07 January

BERITA BUKU

Ada buku-buku saya yang lain dengan harga termasuk ongkos kirim. Buku akan saya kirim setelah saya menerima melalui fax: 021-4891041 fotokopi bukti pembayaran ke rekening saya di Bank Mandiri Cabang Jakarta, Rawamangun, Pemuda No. 0060001282452 sbb.:

1984
Perjalanan : Kumpulan Puisi. – Jakarta : Puisi Indonesia. – 62 hal. Rp. 20.000,--

1987
Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak : Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing / Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan. – Jakarta : Sanggar Willem Iskander. – xiv, 241 p. – ISBN 979-8067-00-9. Harga Rp. 50.000,--

2003a
Aceh di mata DR. Piekaar. – Jakarta : Hambali Swadaya Putra. – 44 hal. – (ISBN 979-97693-02. Harga Rp. 15.000,--

2003b
Pemerintah Kota Padangsidimpuan menghadapi tantangan zaman. - Padangsidimpuan : Pemerintah Kota Padangsidimpuan. - 241 hal. - (ISBN 979-98049-0-6). Harga Rp. 50.000,--

2004a
Madina Yang Madani: Pemerintah Kabupaten Madina membangun masyarakat yang madani: suatu studi perbandingan. – Cet. 1. – Panyabungan : Pemkab Madina. – 424 [62] hal. – (ISBN 979-98376-0-X). Harga Rp. 75.000,--

2004b
Siala Sampagul : nilai-nilai luhur budaya masyarakat Kota Padangsidimpuan. - Padangsidimpuan : Pemerintah Kota Padangsidimpuan. - xvi, 203 hal. - (ISBN 979-98049-1-4). Harga Rp. 50.000,--

2005a
Fakta dan angka: Statistik pendidikan Kabupaten Mandailing Natal 2005. – Panyabungan : Dinas Pendidikan Madina. – xii, 88 hal. – (ISBN 979-99704-0-7). Harga Rp. 35.000,--

2005b
Rakyat mendaulat Taman Nasional Batang Gadis. – Panyabungan : Pemkab Madina. – xvi [16], 132 hal. – (ISBN 979-98376-1-8). Harga Rp. 45.000,--

2002
Iskander, Willem
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk / oleh Willem Iskander ; pengantar dan terjemahan oleh Basyral Hamidy Harahap. – Edisi ketiga Dwi Bahasa. – Jakarta : Sanggar Willem Iskander. – xi, 109 hal. – (ISBN 979-8067-01-0). Harga Rp. 20.000,--
19:43:01 - rajungan - No comments

25 December

MARTABE



MARTABE


OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP



Pengantar
Martabe adalah istilah yang populer di Sumatera Utara sejak tahun 1988. Kata itu merupakan singkatan dari kalimat dalam bahasa Angkola-Mandailing dan Batak Toba Marsipature Hutana Be, artinya membangun kampung masing-masing. Kata tersebut dipopulerkan oleh Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, pada tahun pertama masa baktinya yang pertama, 1988, dengan melembagakannya menjadi Gerakan Pembangunan Desa Terpadu Marsipature Hutana Be.

Martabe merupakan bagian dari proses demokratisasi masyarakat. Masyarakat mempunyai peluang mengamalkan nilai-nilai luhur budayanya dalam proses pembangunan. Dengan Martabe, kekuatan solidaritas didorong untuk bangkit. Serentak dengan bangkitnya kekuatan solidaritas itu, bangkit pula kesadaran kritis yang mampu mendorong sinergi gerak pembangunan di antara sesama anggota komunitas masyarakat dengan pemerintah sebagai tuan rumah pembangunan.

Asal muasal istilah Martabe, bermula dari suatu seminar kebudayaan Batak di Bandung pada bulan Desember 1986 yang disponsori oleh Panglima Divisi Siliwangi Mayjen. TNI Raja Inal Siregar. Saya adalah salah seorang peserta seminar itu. Usai seminar, dibentuklah satu tim beranggotakan 12 orang yang bertugas menilai kelayakan penerbitan semua makalah seminar itu. Saya termasuk di antara Tim 12 orang itu. Tim ini berkesimpulan bahwa semua makalah tidak layak diterbitkan. Maka, kepada anggota Tim 12 ditugaskan untuk menulis karangan sendiri yang kiranya layak diterbitkan.

Ternyata Tim 12 tidak berhasil menulis karangan masing-masing. Tim 12 bubar. Sebagai gantinya dibentuk Tim 4 beranggotakan empat orang yang sebelumnya adalah anggota Tim 12, ialah: saya sendiri, Basyral Hamidy Harahap, dari Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Indonesia, Hotman M. Siahaan dari Universitas Airlangga, Usman Tampubolon dari Universitas Gajah Mada, dan Ponpon Harahap dari Universitas Padjadjaran. Tim 4 bekerja menulis masing-masing karangannya. Tim 4 beberapa kali bertemu di Jakarta dan Bandung untuk merembukkan dan menulis karangan masing-masing. Tetapi ternyata, hanya dua orang yang berhasil menulis naskah buku, ialah saya sendiri dan Hotman M. Siahaan.
[Read More!]
05:00:45 - rajungan - No comments

GREGET TUANKU RAO


PROLOG


Bercengkerama dengan Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP) adalah pengalaman yang mengesankan. Saya pernah bertemu dengan MOP pada awal tahun 1970-an dalam perbualan di rumah abang saya Amir Husin Siregar di bilangan Tulodong Bawah, Jakarta Selatan. Hadir dalam perbualan itu Amir Husin Siregar, MOP dan Ir. Amru Baghwie.

Ir. Amru Baghwie lahir dan besar dalam kalangan intelektual Sipirok. Ayahnya, Dr. Abdul Rasyid dan pamannya Abdul Firman gelar Mangaraja Soangkupon, adalah anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Batavia. Soangkupon, seorang yang terkenal di zaman pergerakan sebagai anggota Dewan Rakyat mewakili Sumatera Timur (Noer, 1996:180-181). Soangkupon, adalah anggota Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda (Poeze:1986:75, 78, 80, 88, 281, 303), dan teman seperjuangan anak Betawi, Muhammad Husni Thamrin, yang sangat gigih membela nasib kuli kontrak di Tanah Deli.

Saya pernah membawa Lance Castles ke alamat ini untuk bertemu dengan Ir. Amru Baghwie, 1970, salah seorang nara sumber Lance Castles ketika menyiapkan disertasinya The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940.
Kelak Dr. Lance Castles meminta saya menulis Pengantar Edisi Indonesia disertasi yang dipertahankannya di Yale University pada tahun 1972 tersebut. Kepustakaan Populer Gramedia, menerbitkan Edisi Indonesia tahun 2001 di bawah judul Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940.
[Read More!]
02:39:34 - rajungan - No comments

24 December

WILLLEM ISKANDER (1840-1876)


WILLEM ISKANDER (1840-1876):
PELOPOR PENDIDIKAN DARI SUMATERA UTARA



OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP
http://basyral-hamidy-harahap.com
Blog of Basyral Hamidy Harahap
basyralharahap@centrin.net.id



Sati Nasution gelar Sutan Iskandar

Baginda Mangaraja Enda, generasi III Dinasti Nasution, mempunyai tiga orang isteri yang melahirkan raja-raja Mandailing. Isteri pertama boru Lubis dari Roburan yang melahirkan putera mahkota Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar. Baginda Mangaraja Enda menobatkan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menjadi raja di Hutasiantar dengan kedudukan yang sama dengan dirinya.
Isteri kedua, boru Hasibuan dari Lumbanbalian yang melahirkan empat orang putera yang kelak menjadi raja. Mereka adalah Sutan Panjalinan raja di Lumbandolok, Mangaraja Lobi raja di Gunung Manaon, Mangaraja Porkas raja di Manyabar dan Mangaraja Upar atau Mangaraja Sojuangon raja di Panyabungan Jae.

Isteri ketiga, boru Pulungan dari Hutabargot yang melahirkan dua orang putera, ialah: Mangaraja Somorong raja di Panyabungan Julu dan Mangaraja Sian raja di Panyabungan Tonga.

Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menobatkan tiga orang puteranya menjadi raja, masing-masing Baginda Soalohon raja di Pidoli Lombang, Batara Guru raja di Gunungtua, dan Mangaraja Mandailing raja di Pidoli Dolok.

Penobatan tiga putera Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan menyusul pemberontakan yang dilancarkan raja-raja di tiga daerah tersebut terhadap Baginda Mangaraja Enda. Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan pemberontakan terhadap ayahandanya itu. Sementara itu raja-raja yang berontak eksodus bersama sebagian rakyatnya ke daerah pantai dan pedalaman Pasaman.

Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Pertama, Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar. Belanda menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu kompeni melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten Residen Mandailing Angkola, 1848-1857, Alexander Philippus Godon (1816-1899), merancang dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang kl. 90 kilometer.

Kedua, Sutan Muhammad Natal, yang banyak disebut Multatuli di dalam Max Havelaar dengan nama Tuanku Natal, seorang raja Natal yang muda dan cerdas, sahabat karib Multuli ketika menjabat Kontrolir Natal (1842-1843).
[Read More!]
21:50:55 - rajungan - No comments