Blog of Basyral Hamidy Harahap

19 November

DISKUSI PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI

BEDAH BUKU DISERTASI DR. LANCE CASTLES:

KEHIDUPAN POLITIK SUATU KERESIDENAN DI SUMATRA: TAPANULI 1915-1940

Di Hotel Danau Toba, Medan, 10 November 2006

BASYRAL HAMIDY HARAHAP
http://basyral-hamidy-harahap.com



PENGANTAR

Pada tahun 2000 sudah terdengar gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli. Sebelumnya gagasan seperti itu mulai timbul setelah Dr. Lance Castles mempertahankan disertasinya di Yale University pada tahun 1972 berjudul The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940. Gagasan itu lahir dari pemikiran bahwa sudah ada beberapa keresidenan yang dimekarkan menjadi propinsi.

Pertengahan tahun 2001 Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan DR. Lance Castles meminta saya menulis Kata Pengantar edisi Bahasa Indonesia terjemahan dari disertasi DR. Lance Castles berjudul asli The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940. KPG menyerahkan naskah edisi Bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Prof.Dr. Maurits Simatupang, di bawah judul <i>Kehidupan Politik Sebuah Keresiden: Tapanuli 1915-1940. DR. Lance Castles mengetahui bahwa saya memiliki teks asli disertasi ini, dan melalui telepon dari Yogyakarta DR. Lance Castles meminta saya untuk memberikan fotokopi halaman 269 yang tidak dimiliki oleh KPG.

Dalam surat saya kepada Bung Parakitri dari KPG ketika mengirimkan halaman 269 itu, saya minta agar judul edisi Bahasa Indonesia dikoreksi menjadi Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940.

Semula saya menolak menulis Pengantar itu, karena adalah lazim bahwa penulis Pengantar lebih jago dari penulis buku yang bersangkutan. Sedangkan saya pastilah tidak lebih jago dari DR. Lance Castles yang punya nama dalam jajaran ahli Indonesia. Tetapi DR. Lance Castles dan KPG tetap meminta saya menulis Pengantar itu. Hasilnya adalah seperti yang Anda baca sendiri. Pada halaman judul buku itu DR. Lance Castles menulis di atas tanda tangannya ketika buku ini diluncurkan di Jakarta pada tanggal 22 November 2001 sebagai berikut: Terima kasih Pak Basyral.

Rupanya disertasi DR. Lance Castles ini termasuk buku yang istimewa. Istimewa karena dibedah dua kali. Pertama 22 November 2001 usai peluncurannya di Hotel Grand Melia, Kuningan, Jakarta Selatan. Kemudian, sekarang, setelah enam tahun buku itu diluncurkan dan dibedah bersama DR. Lance Castles, penerjemah Prof.DR. Maurits Simatupang, saya sebagai penulis Pengantar untuk Edisi Indonesia dan Paraktri Tahi Simbolon dari Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) selaku penerbit, buku ini dibedah lagi pada hari ini 10 November 2006 di Hotel Danau Toba yang megah ini.





BERITA KORAN

Gagasan pemekaran Provinsi Sumatera Utara menjadi beberapa provinsi adalah cerita lama. Empat puluh sembilan tahun yang lalu, tepatnya bulan September 1957, telah ada gagasan membagi Provinsi Sumatera Utara menjadi tiga provinsi. “Kalau terpaksa, pembagian S.U. harus lain tjaranja,” kata A.N.P. Situmorang kepada harian Suara Nasional di Medan (21 September 1957). A.N.P. Situmorang adalah Ketua Seksi “B” DPRDP Provinsi Sumatera Utara. Seterusnya Situmorang mengemukakan beberapa hal sebagai berikut:

Umpamanja, kalau Sumatera Utara dibagi2 mendjadi beberapa Propinsi, maka sebaiknja dibentuk satu Propinsi untuk Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu serta Asahan ; Nias, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara dan Simelungun satu Propinsi ; dan Karo, Deli/Serdang, Langkat dan Medan menjadi satu Propinsi pula. Dan seandainja terdjadi pembagian jang sedemikian rupa, semua Propinsi2 ini akan mempunjai ekonomi jang lumajan, sebab masing2 mempunjai perkebunan2 besar, dan masing2 punja pelabuhan. Pembagian jang sedemikian rupa berarti akan merobah tradisi jang didjalankan oleh Belanda beberapa waktu jang lalu, dan tidak perlu kita meneruskan tradisi itu.

Tentang ibukota propinsi-propinsi itu Situmorang memberikan saran-saran sebagai berikut:

Propinsi Tapanuli Selatan, Labuhan Batu dan Asahan ibu kotanja dan pelabuhannja Labuhan Batu ; sedangkan Nias, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara dan Simelungun ibukotanja Sibolga atau Siantar ; dan Prop. Karo, Deli, Serdang dan Langkat ibu kotanja Medan. Dengan demikian masing2 punja pelabuhannja. Pembagian sedemikian rupa itu berarti bebas dari puak2 atau tradisi jg selama ini didjalankan. Agar kaum politisi, itellligensia dan djago2 kebudajaan hendaknja dapat membahas persoalan2 pembagian ini dengan tidak berdasarkan sentimen.

Ketika pada tahun 2002 mulai marak gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli, saya ingin menyampaikan pencerahan kepada khalayak ramai dengan mengirimkan naskah artikel Tribalisme: Sisi Gelap Otonomi Daerah kepada redaksi harian KOMPAS di Jakarta. Tetapi naskah itu dikembalikan kepada saya tanpa komentar apa pun juga.

Karena masalah ini saya pandang penting, maka saya putuskan lebih baik memberikan artikel ini dengan kata pengantar kepada pemegang keputusan (decision maker) tentang pembentukan dan penolakan suatu provinsi baru. Tokoh itu adalah Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. Surat, naskah artikel dan beberapa buku termasuk disertasi DR. Lance Castles saya serahkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui sekretarisnya pada tanggal 3 April 2002. Fotokopi surat dan naskah artikel Tribalisme: Sisi Gelap Otonomi Daerah juga saya berikan kepada Gubsu T. Rizal Nurdin.

Agaknya pendapat saya sejalan dengan kebijakan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. Enam hari kemudian, tanggal 9 April 2002, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno menegaskan dalam rapat gubernur seluruh Indonesia di Semarang, bahwa tidak ada proses pembentukan provinsi baru. Kebijakan Pemerintah Pusat itu kemudian dipertegas lagi oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno di Bandara Polonia Medan 10 September 2004 yang secara spesifik mengatakan, bahwa pembentukan Provinsi Tapanuli tidak akan diproses. Berita ini menjadi berita utama Harian Analisa, Medan, tanggal 11 September 2004 di bawah judul Pembentukan Provinsi Tapanuli Tak Akan Diproses.

Redaksi Jurnal Otonomi Daerah vol. I, no. 6, Juni 2002 menjadikan surat dan naskah artikel Tribalisme: Sisi Gelap Otonomi Daerah menjadi satu artikel dalam kolom OPINI dengan judul BIARKANLAH PROPINSI SUMATERA UTARA TETAP UTUH SEPERTI SEKARANG.

Saya berpendapat artikel Tribalisme: Sisi Gelap Otonomi Daerah baik dibaca oleh kalangan yang lebih luas. Maka saya luncurkan secara utuh di dalam Blog saya dan Web Site saya (http://basyral-hamidy-harahap.com). Ternyata beberapa situs internet akhir-akhir ini meluncurkannya di dalam situs mereka sendiri, antara lain NiasOnline.net , Web Site Suku Pakpak, Web Site Humbang Hasundutan. Bahkan NiasOnline.net menjadikan artikel ini sebagai salah satu yang diikut-sertakan dalam Forum Politik yang mereka luncurkan. Mathias J. Daeli dari penyelenggara disuksi online itu beberapa kali mengutip artikel ini sebagai rujukan di dalam tulisannya atas nama para peserta diskusi tersebut. Saya kira, Anda yang gemar membuka internet akan menemuinya di dunia maya tersebut.

Berbagai pendapat yang berisi sinyalemen-sinyalemen tentang keresahan dan kesulitan yang akan terjadi serta anjuran-anjuran untuk tidak meneruskan pembentukan Provinsi Tapanuli itu, telah banyak kita baca. Sekedar memberi bahan pemikiran, saya ingin mengetengahkan hal tersebut.
Gubernur Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin mengatakan, seperti disiarkan oleh LIN Jakarta tg. 28 Mei 2004, menyatakan sebagai berikut:

Dalam pembentukan Provinsi Tapanuli masih banyak yang harus dibenahi, misalnya seperti lapangan udaranya, pelabuhan lautnya, jalan-jalannya serta fasilitas pendukung lainnya. Jika ini tidak dibenahi, maka semua hasil komoditi yang ada di Pantai Barat harus diangkut lewat Pantai Timur, dan ini bisa menjadi masalah di kemudian hari. Seperti contoh, masyarakat Pantai Timur akan keberatan jika jalan-jalannya rusak akibat pengangkutan komoditi dari Pantai Barat. Jadi keadaan seperti ini perlu dipikirkan.

Di samping itu ada banyak permasalahan PNS yang perlu dipertimbangkan, karena PNS di Pantai Timur banyak juga orang-orang Pantai Barat. Jika Provinsi Tapanuli dibentuk, maka para PNS asal Pantai Barat ini mau dikemanakan nantinya, dan PNS-PNS ini belum tentu mau pindah ke Propinsi Tapanuli. Untuk itu, Gubsu pun akan secara pelan-pelan mensosialisasikan pembentukan Provinsi Tapanuli ini kepada PNS-PNS tersebut, artinya jika nantinya suatu saat Provinsi Tapanuli terbentuk, maka mereka pun siap untuk dipindahkan.


Empat bulan kemudian, 23 September 2004, T. Rizal Nurdin menyampaikan penilaiannya terhadap gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli dalam seminar di Kampus USU yang membahas pembentukan Provinsi Tapanuli. T. Rizal Nurdin mengatakan antara lain, seperti disiarkan kembali oleh Batak Pos terbitan Jakarta, 4 Oktober 2006, sebagai berikut:

Di era globalisasi ini, sebaiknya hilangkan sekat-sekat dalam membangun perekonomian. Sebab tren yang berkembang seperti Eropa yang justru menyatukan diri melalui mata uang Euro, pemberlakuan bebas fiskal, dan kerja sama regional.
Penyatuan daratan Eropa itu membuktikan, bahwa sekat-sekat administrasi tidak sesuai lagi dengan tuntutan globalisasi. Kalau kita terobsesi membangun Tembok Berlin di wilayah kita sendiri, maka hal ini bisa dianggap set back.


Pendapat T. Rizal Nurdin ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan, antara lain dari sejarawan dan budayawan Melayu Tengku Luckman Sinar menyatakan di Medan (3 Oktober 2006 seperti dimuat harian Batak Pos, 4 Oktober 2006), yang menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

Pembentukan Provinsi Tapanuli itu tak ubahnya menelan bulat-bulat politik divide et impera kolonial Belanda. Sebab, Tapanuli yang dianalogikan sebagai sebuah keresidenan, ditujukan untuk memudahkan Belanda memecah belah bangsa Indonesia, khususnya di Sumut ini.

Antropolog dari USU, Amir Nadapdap, M.A. menyatakan dengan tegas, bahwa ia menilai pendirian Provinsi Tapanuli itu manipulatif. Karena wacananya belum mencerminkan kehendak sebagian besar elit maupun masyarakat di daerah tersebut, khususnya elit dan masyarakat sub etnis Batak di Pantai Barat Sumatera Utara. Amir Nadapdap mengaku sangat tidak setuju pembentukan Provinsi Tapanuli itu. Sebab, alasan bahwa daerah itu tertinggal dibanding Pantai Timur, dinilai sebagai alasan mengada-ada. Betapa tidak. Dalam sejarah 58 tahun Sumatera Utara, hampir 70 persen gubernurnya adalah orang-orang Pantai Barat dan Dataran Tinggi Sumatera Utara. Sebut saja seperti [Telaumbanua, Raja Jungjungan Lubis - penulis], Marah Halim Harahap, E.W.P. Tambunan, Kaharuddin Nasutiomn, Raja Inal Siregar, dan Rudolf M. Pardede. Amir Nadapdap selanjutnya berkata:

Jadi, sangat tidak logis kalau dikatakan pembangunan Pantai Barat dimarjinalkan, dan karenanya perlu didirikan Provinsi Tapanuli. Apalagi baru-baru ini 16 kabupaten/kota Pantai Barat sepakat menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama pengembangan program agropolitan dan agromarinepolitan, yang semuanya itu bermuara pada upaya mewujudkan peningkatan kemakmuran masyarakat Sumatera Utara, khususnya di Pantai Barat. Oke lah, Pemprov Sumut punya utang ke masyarakat Pantai Barat seperti kata Gubernur Rudolf Pardede. Tapi utang itu bukan tidak dibayar. Buktinya, hampir 80 persen kue pembangunan di Sumut sampai tahun 2010 nanti, semuanya adalah di Pantai Barat. Apa ini bukan bukti, bahwa Pemprov Sumut yang ada di Pantai Timur tidak meninggalkan saudaranya di Pantai Barat.

Editorial Batak Pos tanggal 4 Oktober 2006 antara lain menegaskan, sebagai bertikut:

Lantas kita bertanya, apa dasar atau pemikiran yang utama sehingga Provinsi Tapanuli layak berdiri? Alasan itu harus kita kedepankan sehingga pendirian Provinsi Tapanuli bukan keinginan segelintir atau sekelompok orang yang memang haus kekuasaan. Artinya, pendiriannya memang bertujuan untuk menaikkan taraf hidup dan sekaligus menyejahterakan masyarakatnya.

Untuk, pendirian Provinsi Tapanuli jangan sekadar memaksakan kehendak. Jangan sekadar memaksakan semangat etnis, dan jangan juga karena ulah segelintir orang yang memang menginginkan kekuasaan. Mendirikan Provinsi Tapanuli demi mengejar ketertinggalannya dari daerah lain untuk menyejahterakan masyarakatnya.


Kita juga membaca di Harian Global Membangun Paradigma Baru yang memberitakan tanggal 5 Oktober 2006, bahwa Kabupaten Dairi menyatakan sikap belum siap untuk bergabung dengan Provinsi Tapanuli. Konsep dan pandangan yang ditawarkan oleh tim pemrakarsa pembentukan Provinsi Tapanuli belum sama dengan konsep masyarakat Dairi.

Raja Ardin Ujung, tokoh masyarakat Dairi dan Anggota DPRD Dairi menyatakan kepada Harian Global di Sidikalang pada tanggal 4 Oktober 2006 antara lain sebagai berikut:

Masyarakat Dairi tidak menginginkan adanya ekses atau persoalan baru akibat memaksakan diri bergabung dengan Provinsi Tapanuli. Kalau sudah ada konflik, bagaimana pun mercusuar pembangunan dilakukan tidak akan berguna. Dalam hitungan menit itu semua bisa hancur kalau ada konflik sosial. Ada beberapa persoalan yang perlu dihindari yang mengarah pada konflik horizontal dan bentuk-bentuk lainnya. Ada tiga kecamatan di Kabupaten Dairi, yaitu Gunung Sitember, Tigalingga dan Tanah Pinem yang menyatakan akan memisahkan diri apabila Kabupaten Dairi bergabung dengan Provinsi Tapanuli. Mereka akan bergabung dengan Karo. Konsep yang diberikan tim pemrakarsa memperbesar sifat keakuan etnis. Jika Dairi dan Pakpak Bharat diikutkan dalam Provinsi Tapanuli, maka sifat keakuan etnis itu tidak akan pernah bertemu dengan konsep masyarakat Dairi.

Pernyataan senada dikemukakan oleh tokoh masyarakat Pakpak Sumut yang juga Sekretaris DPD Partai Golkar dan anggota Komisi D DPRD Sumut, Drs. H. Abdul Aziz Angkat. Pendiriannya disiarkan dalam Web Site Suku Pakpak tanggal 13 Agustus 2006 di bawah judul Mari Ikut Berpikir yang dikirim oleh Sakti. Drs. H. Abdul Aziz Angkat menegaskan, bahwa tidak satu pun pemegang hak ulayat di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat yang mau bergabung dengan Provinsi Tapanuli. Selanjutnya ia mengatakan kepada wartawan pada hari Kamis 10 Agustus 2006 sebagai berikut:

Karenanya, jika dipaksa untuk bergabung akan mengundang perpecahan dan konflik horizontal. Apa pun alasan dan dasar pertimbangannya, masyarakat Pakpak Dairi dan Pakpak Bharat menolak dilibatkan dalam rencana pembentukan Provinsi Tapanuli. Jika Provinsi Tapanuli jadi diwujudkan, Kecamatan Tigalingga, Tanah Pinem dan Gunung Sitember Kabupaten Dairi akan lebih memilih bergabung dengan Kabupaten Karo. Sedang Kecamatan Sitellu Tali Urang Jahe Kabupaten Pakpak Bharat lebih memilih bergabung dengan Aceh Selatan (Subulussalam).

Menurut Drs. H. Abdul Aziz Angkat, sikap menolak bergabung dengan Provinsi Tapanuli bukan karena alasan sentimen etnis, melainkan karena merasa sudah lebih mantap selama ini berada di bawah wilayah Sumatera Utara.

Kalangan akademisi berpendapat, bahwa pembentukan Propinsi Tapanuli tidak perlu. Prof. Usman Pelly dalam tulisan di Harian Analisa 28 Agustus 2004 menyebutkan, bahwa pembentukan Provinsi Tapanuli akan membawa banyak kontroversi. Pandangan Prof. Usman Pelly kembali dipertegasnya pada seminar tentang gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli di Medan 19 Agustus 2006. Seperti dilaporkan oleh wartawan KOMPAS, Andy Riza Hidayat, yang dimuat dalam KOMPAS Cybermedia tanggal 19 Agustus 2006, bahwa Prof. Usman Pelly meragukan pembentukan provinsi baru itu, tidak semakin memakmurkan daerah tersebut. Sebab, dari kajian yang dilakukannya orang Tapanuli cenderung lebih suka merantau ke Sumatera Timur. Saat berhasil di perantauan orang Tapanuli enggan kembali ke daerahnya sendiri.

“Tidak ada jaminan setelah adanya pemekaran wilayah orang Tapanuli yang sukses di perantauan kembali ke daerahnya,”kata Prof. Usman Pelly. Menurutnya tidak ada kewajiban adat bagi orang Tapanuli membawa pulang harta kekayaan mereka ke kampung halaman.

Pada kesempatan yang sama Prof.Dr. Hotman M. Siahaan, guru besar sosiologi dari Universitas Airlangga menyatakan, bahwa pembentukan provinsi yang terletak di Sumatera Utara bagian barat itu hanya akan memunculkan masalah baru. Prof. Hotman bertanya “Apakah cukup membentuk sebuah provinsi hanya berdasarkan garis kultural saja?”Menurut Prof. Hotman, pembentukan Provinsi Tapanuli, paling tidak harus memperhatikan perseteruan budaya antara subkultur Batak yang belum selesai. Tidak bisa sebuah provinsi baru dibentuk hanya ditentukan bentuk keresiden masa penjajahan Belanda. Jelas ada konteks berbeda antara pembentukan sekarang dengan pembentukan saat zaman Belanda.

Sementara itu sosiolog Prof.Dr. Robert Sibarani mengatakan pembentukan daerah di sepanjang pesisir barat Sumatera Utara memiliki potensi budaya dan alam yang cukup. “Nama Tapanuli sebagai aspek geografis dan Batak sebagai aspek etnisitas telah lama dikenal di republik ini, bahkan telah memiliki hubungan khusus dengan negara lain seperti Jerman”.

Pernyataan Prof.Dr. Robert Sibarani tersebut telah ditanggapi oleh Mathias J. Daeli dalam NiasOnline.net tanggal 26 Agustus 2006 ketika menulis atas nama peserta diskusi online di situs itu, bahwa jelaslah gagasan dasar pembentukan Provinsi Tapanuli adalah etnis Batak. Pernyataan itu dikaitkannya dengan sinyalemen saya dalam artikel Tribalisme: Sisi Gelap Otonomi Daerah.

Koran Tempo edisi 20 September 2006 dan disiarkan lagi oleh situs http://aktualita.blogspot.com tanggal 28 September 2006 menulis judul Pemekaran Daerah Turunkan Kesejahteraan Rakyat. Menurut peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Wijaya, pemekaran daerah seharusnya meningkatkan kesejahteraan daerah lama dan baru. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, kegiatan ekonomi menurun dan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Menurut Wijaya, setelah pemekaran, kerja sama ekonomi masyarakat justru melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antar daerah menguat. Akibatnya, biaya ekonomi membesar dan lokasi geografis kurang mendukung kegiatan ekonomi. Kesimpulan ini diambil dari hasil penelitiannya di beberapa daerah yang dimekarkan, ialah: Sumatera Selatan dan Bangka Belitung, Jawa Barat dan Banten, Sulawesi Utara dan Gorontalo, serta Maluku dan Maluku Utara.

Menarik juga untuk disimak, bahwa DPRD Kota Sibolga mencabut dukungannya terhadap pembentukan Provinsi Tapanuli pada tanggal 21 September 2006. Sementara itu masyarakat Tapanuli Tengah yang terhimpun dalam Gabungan Tokoh Masyarakat Kabupaten Tapanuli Tengah menolak keterlibatan Kabupaten Tapanuli Tengah untuk bergabung dalam rencana pembentukan Provinsi Tapanuli, dan meminta agar Kabupaten Tapanuli Tengah tetap menjadi bagian Provinsi Sumatera Utara. Hal itu dinyatakan dalam surat kepada DPRD Tapanuli Tengah tanggal 2 Oktober 2006, agar DPRD Tapanuli Tengah mencabut kembali keputusan DPRD Tapanuli Tengah tentang dukungan terhadap rencana pembentukan Provinsi Tapanuli (Batak Pos 7 Oktober 2006).

Situs NiasOnline.net mengumumkan pada tanggal 7 Oktober 2006 dan 15 Oktober 2006 hasil jajak pendapat pengunjung Situs NiasOnline.net bahwa Mayoritas Pengunjung Yaahowu Tolak Nias Bergabung Dengan Provinsi Tapanuli. Ini merupakan salah satu gambaran sikap masyarakat Nias terhadap pembentukan Provinsi Tapanuli.

Harian SIB online menulis tanggal 9 Oktober 2006 judul berita Ratusan Tokoh Asal Tapsel Bahas Pemekaran Tapsel, Propinsi Tabagsel dan Cagubsu. Para tokoh itu berkumpul tanggal 7 Oktober 2006 malam di kediaman Drs. H. Rahmad Hasibuan di Jln. Al Falah, Medan, yang mendukung percepatan pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan yang tertunda sejak 1992, ialah Kabupaten Angkola Sipirok, Padang Lawas dan Tapanuli Selatan sendiri. Pada kesempatan itu tokoh Mandailing Natal dari Natal yang juga Wakil Walikota Medan, H. Ramli, M.M. menegaskan bahwa Kabupaten Madina juga layak dimekarkan menjadi dua atau tiga kabupaten sebagai persiapan wacana pembentukan Provinsi Tabagsel. Hadir dalam pertemuan itu antara lain H. Chairuman Harahap, Amru Daulay, dan Irjen (Pol) Darwan Siregar. Pada kesempatan itu Amru Daulay memberikan warning kepada masyarakat Tapsel, Madina dan Kota Padangsidimpuan agar mempersiapkan diri kalau ternyata pemekaran Tapanuli terjadi maka siap-siaplah untuk pemekaran Tabagsel, sebab dengan pemekaran akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

Waspada online menyiarkan berita tanggal 10 Oktober 2006 di bawah judul Wacana Provinsi Tapanuli Buka Peluang Sumut Terpecah. Dekan FE USU Drs. Jhon Tabu Ritonga, MEc. Mengungkapkan, bahwa jika pemekaran kabupaten/kota bisa menjadi rujukan, kenyataan di lapangan banyak sukses seperti Mandailing Natal, Serdang Bedagai, Padangsidimpuan semua sudah menunjukkan sukses. Sedang untuk tingkat provinsi belum ada.
Menurut saya, penulis makalah ini, memang demikianlah faktanya. Pemda Madina berpikir secara nasional tetapi bertindak secara lokal. Ini dapat kita baca antara lain dalam Visi Pemda Madina tahun 2003, sebagai berikut:

1.Lima tahun ke depan menjadi sejajar dengan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.

2.Sepuluh tahun ke depan menjadi yang terbaik di antara Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.

3.Lima belas tahun ke depan mengungguli semua Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.

Kepesatan pembangunan di Kabupaten Madina dipertegas oleh Gubernur Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin, antara lain menulis di dalam sambutannya di dalam buku saya Madina Yang Madani halaman 9-10 sbb.:

Mandailing Natal adalah daerah yang memiliki potensi yang cukup bagus dan masyarakatnya taat beragama serta menjunjung tinggi adat istiadat. Hal itu merupakan modal yang sangat berarti untuk memajukan pembangunan di Mandailing Natal, sehingga daerah ini dapat sejajar dengan daerah lainnya yang ada di Sumatera Utara. Dalam kenyataannya memang Mandailing Natal jauh lebih maju sekarang ini.

Waspada online menulis berita tanggal 12 Oktober 2006 di bawah judul 20 Ormas, OKP dan Mahasiswa Sibolga Tolak Provinsi Tapanuli. Para pengunjuk rasa mendukung DPRD Sibolga agar tetap konsisten menolak wacana pembentukan Provinsi Tapanuli, sesuai keputusan DPRD Sibolga No. 15 Tahun 2006. Berita yang sama dilengkapi foto disiarkan oleh Batak Pos yang terbit di Jakarta tanggal 12 Oktober 2006.

Kembali Waspada online menulis berita 16 Oktober 2006 berjudul Pembentukan Provinsi Tapanuli Lecehkan Rakyat. Rahmad Dwi Prahman didampingi Haris Nainggolan dari Barisan Muda Keluarga Besar Masyarakat Tapteng-Sibolga (BM-GABEMA TATSI) menegaskan, penolakan juga telah dilakukan dengan menyampaikan aspirasi oleh Ormas PD Muhammadiyah, PC Al Washliyah, tokoh agama, intelektual, LSM, dan elemen lainnya. Menurut Nainggolan, pembentukan provinsi itu hanya untuk kepentingan elit-elit penguasa dan pemrakarsa yang tidak dikenal oleh masyarakat Sibolga dan Tapanuli Tengah.

Batak Pos edisi 1 November 2006 menurunkan berita Unjuk Rasa Gemapeta Tolak Kehadiran Tim Provinsi Tapanuli. Berita disertai foto unjuk rasa itu menyatakan bahwa Gerakan Masyarakat Peduli Tapanuli (Gemapeta) menolak pembentukan Provinsi Tapanuli, karena hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Spanduk yang mereka rentangkan antara lain bertuliskan Wahai Bapak-Bapak Tim Pemrakarsa Provinsi Tapanuli, Jangan Habiskan Tenaga, Biaya, Waktu, Mencari Kepastian Sikap Kota Sibolga Tentang Provinsi Tapanuli. Spanduk lain bertuliskan Kami Rakyat dan DPRD II Kota Sibolga Telah Memutuskan Bahwa Kota Sibolga Menolak Rencana Provinsi Tapanuli.

Berita ini juga disiarkan oleh Harian Medan Bisnis online.com dengan judul Kunjungan Tim Gabungan Pembentukan Protap ke Sibolga Diwarnai Demo.
Kembali Batak Pos menyiarkan berita tanggal 7 November 2006 di bawah judul Imatatsi Tolak Pembentukan Provinsi Tapanuli. Ikatan Mahasiswa Tapanuli Tengah Sibolga (Imatatsi) menyatakan ketika berunjuk rasa di Kantor DPRD Sibolga, bahwa pembentukan Provinsi Tapanuli sarat dengan kepentingan oknum atau kelompok elit politik yang mengatasnamakan rakyat. Mereka diterima oleh anggota DPRD Sibolga, Kasim Sinaga, Jansul Perdana Pasaribu, Hamzah Zeb Tumory.



KESIMPULAN

Seringkali kita membaca atau mendengar ungkapan para pemrakarsa atau pendukung Propinsi Tapanuli, bahwa semua keresidenan di Indonesia sudah dimekarkan menjadi propinsi. Ungkapan itu sama sekali tidak benar. Saya mencatat beberapa keresidenan di Pulau Jawa yang tidak dimekarkan menjadi provinsi, antara lain di:
Jawa Barat: Bogor, Cirebon, Priangan
Jawa Tengah: Banyumas, Kedu, Pekalongan, Rembang, Semarang, dua Swapraja Surakarta ialah Kasunanan dan Mangkunegaran.
Jawa Timur: Besuki, Malang, Madiun, Kediri, Surabaya, Madura, Bojonegoro.
Sumatera: Palembang.

Sesungguhnya Propinsi Sumatera Utara adalah miniatur Indonesia yang memiliki berbagai keragaman agama, tradisi, bahasa, suku bangsa, arsitektur, kebudayaan dll. Juga memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, memiliki pantai di yang menghadap Lautan Hindia dan Selat Malaka. Memiliki banyak pulau, danau, gunung, sungai, dan berbagai tujuan wisata.

Walaupun Sumatera Utara memiliki penduduk yang multi etnis, bahasa, agama dan tradisi, namun Sumatera Utara termasuk daerah yang paling aman dari kerusuhan SARA. Rahasianya ialah, karena semua komponen masyarakat itu menjaga keharmonisan, menjaga equilibrium dalam keragaman itu. Sehingga masyarakat terhindar dari konflik sosial. Masing-masing komunitas mengetahui kelemahan dan keunggulannya. Sehingga mereka terbiasa berpikir pragmatis, menghitung rugi laba suatu tindakan yang mungkin dapat menimbulkan konflik SARA.

Keharmonisan itu bisa terusik, jika ada kelompok yang merasa lebih jago dari kelompok lainnya, sehingga menimbulkan kegarangan yang mengesampingkan sikap dan pendirian pihak-pihak lain. Jika ini terjadi, maka timbullah semangat tribalisme, ialah semangat kekitaan yang kuat yang menumbuhkan kesadaran kehadiran orang lain, yaitu mereka, yang dipandang sebagai ancaman. Dalam situasi seperti itu, nilai-nilai stereotip akan menguat. Jika ini timbul, maka sikap kebersamaan akan sulit diperoleh.

Keadaan seperti itu dapat timbul dalam wacana pembentukan Propinsi Tapanuli. Potensi besar Sumatera Utara akan terpecah-pecah, yang pada akhirnya menimbulkan persaingan tidak sehat di kalangan komunitas yang bersangkutan. Oleh karena itu, saya tetap berpendapat, biarkanlah Propinsi Sumatera Utara utuh seperti sekarang ini.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan adanya gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli, ialah:

1.Gagasan pemecahan Propinsi Sumatera Utara menjadi beberapa Provinsi adalah gagasan yang sudah usang. Tuntutan globalisasi sekarang ini justru cenderung pada penggabungan, bukan sekat-sekat, batas-batas. Sehingga tidak relevan lagi gagasan mendirikan provinsi baru.

2.Provinsi Sumatera Utara adalah Provinsi Kesatuan yang besar dan salah satu provinsi terkemuka di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tak ada orang yang setuju membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pola pikir ini juga seyogianya berlaku untuk Provinsi Sumatera Utara sebagai Provinsi Kesatuan. Sebagai Provinsi Kesatuan, nama Sumatera Utara merupakan nama yang kharismatik sekaligus nama yang sangat kuat merekat persatuan masyarakat berbilang kaum. Telah terbukti dalam sejarah, bahwa kekuatan Sumatera Utara antara lain dalam memelihara social equilibrium, keharmonisan masyarakat. Lihatlah nama Universitas Sumatera Utara dan Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara (kini Universitas Islam Negeri Sumatera Utara) yang ditempat lain nama universitas negerinya mengambil nama pahlawan atau kerajaan dan IAIN mengambil nama ulama besar setempat.

3.Reputasi orang Sumatera Utara di Republik Indonesia sangat menonjol dalam segala bidang. Wilayah-wilayah di Sumatera Utara dapat dikembangkan menjadi pusat-pusat keunggulan, tanpa harus membentuk propinsi baru yang bermimpi menjadi propinsi unggulan.

4.Basis otonomi daerah bukanlah di provinsi, tetapi di kabupaten/kota. Oleh karena itu tidak layak untuk mendirikan provinsi dengan alasan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya yang terpenting adalah peningkatan kemampuan pemerintah kabupaten/kota yang sudah ada untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat kabupaten/kota dan mendidik masyarakat agar lebih pintar mengembangkan dirinya sehingga mampu meningkatkan mutu kehidupannya. Ini telah terbukti di Kabupaten Mandailing Natal, salah satu kabupaten termuda di Sumatera Utara, tetapi yang paling pesat kemajuannya.

5.Apa yang saya sinyalir bahwa tribalisme merupakan sisi gelap otonomi daerah, tersirat juga dalam pernyataan Gubernur Sumut T. Rizal Nurdin, bahwa jika Provinsi Tapanuli terbentuk maka para PNS yang berasal dari Pantai Barat yang sekarang bekerja di Pantai Timur, harus dikembalikan ke Pantai Barat. Maka akan ada eksodus PNS ke Pantai Barat. Ini akan menimbulkan keresahan sosial di Pantai Barat dan Pantai Timur.

Jakarta, 9 November 2006

posted at 20:44:19 on 11/19/06 by rajungan - Category: General

Comments

No comments yet

Add Comments

You must be logged in as a member to add comment to this blog