Blog of Basyral Hamidy Harahap

24 December

HOLONG MANGALAP HOLONG


HOLONG MANGALAP HOLONG:
DAKWAH ALA MANDAILING


OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP

http://basyral-hamidy-harahap.com
Blog of Basyral Hamidy Harahap
basyralharahap@centrin.net.id


Kilas Balik

Tujuh abad yang lalu, Majapahit sudah mengenal Mandailing sebagai salah satu daerah yang terpenting di wilayah kerajaan Melayu. Hal ini diungkapkan oleh Mpu Prapanca, sejarawan Majapahit, di dalam buku Negarakertagama, bertarikh 1365 Masehi. Buku ini telah diterjemahkan oleh Prof. Theodore G. Th. Pigeaud di bawah judul Java in the 14th Century: A Study in Cultural History the Negara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. (1960-1962). Mpu Prapanca menyebutkan pada syair ke-13, bahwa Mandailing adalah salah satu daerah utama dan terpenting dari sejumlah daerah di Nusantara. Hal itu disebutkannya dalam kalimat ksoni ri Malayu dan kalimat bhumi malayu satanah kapwamateh anut yang diterjemahkan oleh Prof. Pigeaud sebagai the principal ones are all those that belong to the country of Malayu dan the most important ones of those belonging to the country of Malayu. Ada tiga daerah di kawasan Tapanuli Bagian Selatan yang disebutkan sebagai daerah yang utama dan terpenting itu ialah Mandailing, Padang Lawas dan Pane.
Daerah-daerah yang disebutkan pada syair 13 stanza 1 adalah: Jambi, Palembang, Karitang, Teba, Kandis, Kawhas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tumihang, Pereulak dan Barat. Pada syair 13 stanza 2 terdapat daerah-daerah: Padang Lawas, Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, Barus, Pulau Tanjung Nagara (Kalimantan?) ialah Kapuhas, Katingan, Sampit, Kuta Lingga, Kuta Waringin, Sambas dan Lawai.
Prof. Mr. Muhammad Yamin menyebutkan, bahwa seluruh tempat yang disebutkan oleh Mpu Prapanca di dalam Negarakertagama itu adalah Tumpah Darah Nusantara (Yamin, 1959, I:138).



Lebih lama lagi dari zaman Majapahit itu, ialah apa yang terungkap di dalam Perjanjian Lama: Raja-Raja, tentang perintah Nabi Sulaiman kepada Raja Hiram untuk pergi ke Opir mengambil emas. Saya sudah melacak nama Opir dengan berbagai variasi bentuk seperti Ofir, Ophir, O’phir dan Opir di peta seluruh dunia, ternyata hanya Opir yang dikenal dengan nama Gunung Pasaman, yang cocok dengan Opir daerah yang disebutkan di dalam Perjanjian Lama. Multatuli menduga, bahwa nama Opir itu berasal dari hikayat Seribu Satu Malam, Sinbad Sipelaut, yang konon juga mengunjungi daerah ini (Multuli, 1881:372-373). Wallahualam bissawab.

Raja-Raja Bab 9
Ayat 26 “Raja Salomo membuat juga kapal-kapal di Ezion-Geber yang ada di dekat Elot, di tepi Laut Teberau, di tanah Edom. [Di angkatan lautnia, dipauli Raja Salomo do angka kapal di Esion-Geber na di lambung ni Elot di topi ni Laut Rara na di Luat Edom]. [King Solomon built a fleet of ships at Ezion-geber, near Eloth on the shore of the Red Sea, in Edom]”
Ayat 27 “Dengan kapal-kapal itu Hiram mengirim anak buahnya, yaitu anak-anak kapal yang tahu tentang laut, menyertai anak buah Salomo [Disuru Raja Hiram do angka angkatan laut na ummalo, sian angka kapalnia, anso marlayar dohot angkatan laut ni si Salomo] [Hiram sent men of his own to serve with the fleet, experienced seamen to work with Solomon’s men]”.
Ayat 28 “Mereka sampai ke Ofir dan dari sana mereka mengambil empat ratus dua puluh talenta emas, yang mereka bawa kepada raja Salomo [Kehe ma halahi marlayar to Ofir, dioban halahi ma sian i opat bolas ribu kilogram sere di si Salomo] [They went to Ophir and brought back four hundred and twenty talents of gold, which they delivered to King Solomon]”
Raja-Raja Bab 10
Ayat 11 “Lagi pula kapal-kapal Hiram, yang mengangkut emas dari Ofir sangat banyak kayu cendana dan batu permata yang mahal-mahal [Angka kapal ni si Hiram na maroban sere sian Ofir di si Salomo, laing maroban batu intan do dohot hayu cendana] [Besides all this, Hiram’s fleet of ships, which had brought gold from Ophir, brought also from Ophir huge cargoes of almug wood and precious stones].
Ayat 12 “Raja mengerjakan kayu cendana itu menjadi langkan untuk rumah Tuhan dan untuk istana raja, dan juga menjadi kecapi dan gambus untuk para penyanyi; kayu cendana seperti itu tidak datang dan tidak kelihatan lagi sampai hari ini [Dibaen si Salomo ma angka hayu i gabe handang ni loteng di Bagas Ni Debata dohot bagas godang ni raja i, deba jadi hasapi dohot gambus sipakeon ni angka parmusik. Angka i ma hayu cendana na jumeges na jungada dipamasuk tu Israel, nada jungada be diida halak hayu na songon i jegesna] [The king used the wood to make stools for the house of Lord and for the palace, as well as lyres and lutes for the singers. No such quantities of almug wood have ever been imported or even seen since that time]”

Encyclopædia Britannnica menyebutkan bahwa kawasan Opir itu pada zaman Nabi Sulaiman (920 SM) dikenal sebagai pemasok kayu cendana, gading gajah, beruk (bodat) dan burung merak.

Semua barang-barang itu memang terdapat di istana Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman dikenal sebagai orang yang bisa berkomunikasi dengan binatang. Siapa tahu, bodat yang dibawa oleh Raja Hiram dan dipersembahkannya kepada Nabi Sulaiman, sudah diajari pula untuk memahami perintah dalam bahasa Ibrani atau bahasa yang dipakai pada zaman Nabi Sulaiman.

Barangkali ini berkaitan dengan kebolehan orang Mandailing berkomunikasi dengan bodat sejak dahulu kala. Sampai hari ini orang Eropa sangat tertarik terhadap kerjasama manusia dan bodat dalam usaha mencari makan. Mereka berkomunikasi dengan bodat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Mandailing. Walaupun bodat tidak menjawab dengan bahasa Indonesia atau bahasa Mandailing, namun dengan body language, mengisyaratkan bahwa sang bodat paham 100% pesan-pesan yang diucapkan oleh pemilik bodat itu (bayo parbodat). Ia pun melaksanakan perintah itu secara sempurna.

Pada akhir tahun 1950-an saya mengenal seorang bayo parbodat di Panyabungan, namanya Si Batu. Ia berbicara dalam bahasa Mandailing dengan bodat miliknya ketika menyuruh bodat itu melakukan tugas memetik buah kelapa. Kadang-kadang Si Batu memperoleh upah yang banyak sehingga ia tak mampu membawa semua upah itu. Si Batu pun berbagi kerja dengan bodat miliknya untuk membawa dua sampai tiga butir kelapa. Bodat itu menyusul di belakangnya dengan ikatan tali yang diulur panjang. Sang bodat leluasa menggulirkan tiga butir kelapa secara bergantian sampai tiba di rumah. Sementara kerjasama itu berjalan, Si Batu terus berbicara dalam bahasa Mandailing, agar bodat itu tidak berleha-leha. “Adope, paipas bo”, [Ayolah, cepatlah] katanya kepada bodat yang besar dan kekar itu.

Kampung saya, Sihepeng, di gerbang Mandailing, tercatat di dalam buku petunjuk wisata Sumatera-Bali yang terbit di Eropa. Ada pula kurang lebih 10 situs dalam berbagai bahasa, bahwa Desa Sihepeng sebagai salah satu tempat singgah wisatawan Eropa dalam perjalanan dari Sumut menuju Bali. Mereka takjub melihat lada yang ditanam di kebun ini. Lada inilah salah satu rempah-rempah yang menyebabkan penjajahan bangsa Eropa ke Indonesia pada abad 16 itu. Ada dua acara di Sihepeng.Pertama, wisatawan Eropa itu menyaksikan aksi sang bodat memetik kelapa muda, kemudian kelapa itu dinikmati para turis. Kedua, wisatawan Eropa itu masuk ke kebun lada di lokasi itu. Mereka memetik, mencicipi atau memotret lada, kemudian membeli lada yang sudah kering, dan berbagai rempah-rempah lainnya.

Jika kita telusuri posisi pintu gerbang Tanah Mandailing Pantai Barat Sumatera, maka kita menemukan jejak yang lebih purba lagi. Kawasan Pantai Barat Sumatera, mulai dari Barus, Singkuang, Natal, Batahan, Air Bangis, Ulakan dan Tiku sudah terbuka puluhan abad sebelum tarikh Masehi. Daerah pedalaman kawasan itu memiliki hutan yang luas dan beberapa gunung seperti Sorik Marapi dan Opir, dan gua-gua tempat burung walet bersarang, tanahnya mengandung emas, tembaga, besi dan perak. Barus dan Natal adalah pemasok kapur barus yang dipakai para Firaun untuk mengawetkan mummi.

Uraian di atas sekedar memberi gambaran betapa Tanah Mandailing sudah lama terbuka kepada dunia luar.


Tradisi Mandailing

Sudah pasti, masyarakat yang terbuka, memiliki sifat-sifat egaliter, apalagi keterbukaan itu berkaitan dengan masuknya agama Islam yang menanamkan semangat kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Semangat Islam inilah sebenarnya yang diadopsi para penganjur Revolusi Prancis (1789-1799) yang mendengungkan semboyan yang tercatat dalam sejarah peradaban sebagai semboyan spektakuler, ialah: Liberté, Egalité dan Fraternité. Semboyan itu telah mengubah tamaddun bangsa-bangsa khususnya yang berkaitan dengan perjuangan hak asasi manusia.

Pengaruh Islam di Eropa itu dapat ditelusuri antara lain dengan memperhatikan proses penyerapan ajaran Islam melalui terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa, ialah Latin (1543), Jerman oleh Schweigger di Nurenberg (1616), Prancis oleh Du Ryer di Paris (1647), Latin oleh Maracci (1689), Inggris oleh George Sales (1734), Jerman oleh Boysen (1773), Rusia di St. Petersburg (1776) dan Prancis (1783). Terjemahan pertama dalam bahasa Prancis terbit 132 tahun sebelum Revolusi Prancis dan terjemahan kedua terbit enam tahun sebelum pemberontakan di penjara Bastaille itu.

Alexander Philippus Godon (1816-1899), Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857) yang berdarah Prancis itu, adalah penganut semboyan Revolusi Prancis itu. Godon telah berhasil meraih kerja sama Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar dalam melakukan perubahan sosial yang luar biasa di Mandailing Angkola.. Mereka merancang dan melakukan pembangunan ekonomi antara lain membuka jalan Panyabungan ke pelabuhan Natal. Ia juga melakukan gerakan anti perbudakan, 1856, sezaman dengan gerakan Harriet Beecher Stowe yang terkenal dengan karyanya Uncle Tom’s Cabin. Bahkan Godon juga mendesain pakaian kalangan raja-raja agar penampilan mereka lebih kharismatik, termasuk pakaian kaum perempuan dan masyarakat umum. Jumlah mas kawin pun ditetapkan oleh Godon agar tidak memberatkan pihak laki-laki.

Sistem masyarakat Mandailing Dalihan Na Tolu yang egaliter, terdiri dari komponen masyarakat yang terdiri dari kahanggi (kerabat semarga), mora (kerabat pemberi isteri) dan anak boru (kerabat pengambil isteri). Semua orang Mandailing memiliki posisi itu sesuai dengan peranannya dalam suatu peristiwa adat yang berbeda. Hubungan kekerabatan yang kuat itu sesuai dengan hubungan kekerabatan yang diajarkan oleh Islam baik melalui pohon keluarga yang dikenal dengan tarombo. Demikian juga hubungan perkawinan telah dipengaruhi oleh ajaran Islam antara lain seperti disebutkan di dalam Surat An-Nisaa’ ayat 23.

Holong merupakan ajaran kasih sayang yang diajarkan oleh Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam Surat Luqman tentang nasihat Luqmanul Hakim kepada puteranya. Banyak kisah teladan yang menceritakan betapa budi pekerti dan bakti anak kepada ibu sangat besar peranannya dalam perjalanan hidup seorang anak dll.

Agama Islam menyempurnakan beberapa tradisi Mandailing, misalnya tentang kawin semarga dengan merujuk ayat-ayat 23 Surat An-Nisaa’ itu. Sehingga dasar-dasar hubungan kekerabatan menjadi lebih luas, mendalam dan bermakna. Hal ini merupakan terobosan ajaran Islam yang lembut terhadap perubahan tradisi kawin anak namboru – boru tulang. Ini merupakan sumbangan Islam yang sangat menonjol dalam pembinaan keluarga orang Mandailing. Dalam hal ini jelas Islam mendikte adat (Harahap, 1987a:222).

Satu hal yang kuat merekat hubungan kekerabatan orang Mandailing ialah partuturon yang tidak kurang dari 50 tutur kekerabatan. Semua tutur itu bermuatan etika hubungan antar pribadi dan antar kelompok kerabat. Jalur kekerabatan inilah yang memegang peranan penting dalam memelihara holong, kasih sayang, di kalangan masyarakat Mandailing.

Orang Mandailing sangat gemar memberi nasihat, marsipaingot, kepada kaum kerabat apalagi kepada generasi muda. Nasihat itu dapat berupa paparan pengetahuan, pengalaman, penataan hidup, upaya meraih cita-cita, kerja keras, rukun, dan segala aspek kehidupan. Orang Mandailing sangat paham tentang makna kata-kata yang semuanya diyakini memiliki muatan holong. Sehingga, jika seorang tua memberikan nasihat dengan nada yang keras atau dengan pilihan kata-kata yang tajam, orang yang diberi nasihat, paham benar bahwa semua yang disampaikan itu walaupun pahit sangat sarat bermuatan rasa kasih sayang, demi kebaikannya.

Kita dapat merasakan betapa para cerdik cendekia, guru, ulama, sangat dihormati oleh orang Mandailing. Orang Mandailing lebih menghargai orang yang arif bijaksana (halak na bisuk) daripada orang yang kaya baik orang kaya karena mendapat warisan dari orang tua, apalagi orang kaya yang konon kekayaannya diperoleh dengan cara-cara yang tidak halal, termasuk orang kaya yang bakhil. Yang disebut terakhir ini dijuluki orang sebagai Bani Uzur. Mereka kurang tertarik menyisihkan sebagian kekayaannya untuk kemakmuran masyarakat dan kampung halamannya (Harahap, 2004:231-232).

Konflik adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh orang Mandailing. Kalaupun ada konflik, para yang terlibat konflik berusaha menjaga dan memelihara konflik itu sebagai rahasia pribadi dan rahasia keluarga, yang kelak akan berakhir juga. Oleh karena itu, konflik adalah aib bagi orang Mandailing. Walaupun ada orang yang berusaha mengorek informasi tentang keberadaan konflik itu, orang yang berkonflik tetap berusaha tidak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan dugaan konflik tersebut.

Begitulah, dakwah Islamiyah berlangsung di kalangan kaum kerabat. Orang Mandailing sangat menghargai orang-orang yang arif dan berilmu. Mereka selalu menambahi istilah sapaan di depan nama orang-orang seperti itu, misalnya kata Guru, Tuan Syekh, bahkan para Tuan Syekh tidak lagi disebut namanya, melainkan kampung di mana beliau berdiam, seperti Tuan Syekh Purba, Tuan Syekh Aek Libung, Tuan Syekh Muaramais, dll. Jika ada dua Tuan Syekh di kampung atau daerah itu, maka orang pun memberi nama berdasarkan usia, misalnya Tuan Na Tobang, Tuan Na Poso. Jika, para orang panutan itu berjalan di depan suatu lepau, maka orang-orang yang sedang berbual-bual di lepau itu pastilah diam semua, atau memelankan suara mereka sampai Tuan itu berlalu.

Para haji pun sangat dihormati, bukan karena penampilannya yang khas dengan sorban yang dipakai apik, tetapi karena ia adalah orang yang dipandang sukses, memiliki pengalaman yang mengesankan, sudah pergi ke Tanah Suci, suatu pengalaman yang menjadi idaman semua orang. Tak ada iri orang kepada para haji. Sebaliknya yang timbul adalah kesantunan terhadap para haji yang menjadi panutan masyarakatnya.
Sebagai masyarakat yang egaliter, orang Mandailing sangat terbuka pada kehadiran para guru yang berasal dari luar desanya. Masyarakat memberikan berbagai fasilitas kepadanya, sehingga guru itu hidup nyaman, damai, dengan masyarakat setempat. Orang-orang cerdik cendekia seperti ini segera mendapat tempat terhormat di dalam masyarakat. Para guru pendatang itu pun segera menjadi anggota yang diikat sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu yang berawal dari manopot kahanggi. Sehingga para guru itu pun menjadi anggota keluarga besar Dalihan Na Tolu. Ia tampil sebagai seorang yang dibanggakan oleh kerabat barunya di kampung itu. Guru yang berasal dari luar kampung itu, tidak mesti orang Mandailing. Apa pun sukunya, tak ada halangan sedikit pun untuk segera menjadi anggota keluarga besar Dalihan Na Tolu.
Jika ia bukan orang Mandailing, ia akan berusaha keras untuk menguasai bahasa Mandailing dengan cengkoknya yang terkenal itu, termasuk segala hal yang berkaitan dengan lingkungan hidup di kampung itu. Bahkan ia diberikan marga, agar tidak ada kecanggungan dalam pergaulan dalam kehidupan masyarakat setempat. Biasanya, orang baru itu memiliki sesuatu keterampilan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan penduduk setempat. Maka, ia pun tampil sebagai pembawa pembaharuan. Keterampilan itu boleh jadi dalam bertani, bertukang, atau kemampuan untuk mengobati orang yang sakit dengan memakai air tujuh sungai (aek pitu sunge) dan ramuan herbal yang hidup di sekitar kampung itu.


Langgam Bicara

Orang Mandailing sangat kuat memperlihatkan bahasa tubuh. Tidak semua hal yang penting harus diucapkan. Seringkali hal-hal yang penting itu tampil dalam bahasa tubuh, apakah itu dengan mimik, gerak anggota badan lainnya, maupun dengan diam sama sekali. Lawan bicaranya, pastilah tidak akan salah paham tentang apa yang disembunyikan itu. Orang Mandailing diajari untuk tidak serta merta memberi reaksi dalam berdialog. Jika seseorang sedang berbicara, maka ketika lawan bicaranya ingin memberi tanggapan, yang disebut terakhir ini memberi tanda-tanda dengan bahasa tubuh berupa isyarat kepada orang yang berbicara itu bahwa ia nanti akan memberi tanggapan. Apakah tanggapan yang akan disampaikan itu positif atau negatif, dapat diantisipasi oleh orang yang sedang berbicara tersebut. Begitu indahnya orang Mandailing berdialog, terasa suasana kasih sayang di dalam dialog itu. Sekeras apa pun dialog itu, setajam apapun kata-kata yang diucapkan, tak akan menimbulkan dendam kesumat.

Ciri khas langgam bicara orang Mandailing adalah pengucapan kata-kata yang berirama. Semua huruf yang tertulis diucapkan dengan jelas. Tetapi lebih daripada itu, yang paling menonjol adalah lafal huruf sengau secara sempurna. Huruf-huruf sengau, n, m, ng yang diucapkan orang Mandailing secara sempurna itu menimbulkan suatu gaung bagaikan multiplex stereo yang ditangkap oleh daun telinga, kemudian menggetarkan kulit selaput di dalam telinga.

Suara sengau itu seolah memiliki ruh yang dapat menggetarkan syaraf-syaraf. Ada getaran gaib yang membuatnya berkesan, kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf sengau itu sering terngiang-ngiang di telinga kita. Suara sengau seperti itu dapat merangsang suasana damai dan relaksasi baik bagi yang mendengar, terlebih bagi yang mengucapkannya. Gelombang suara itu dapat mengendurkan syaraf-syaraf. Sehingga tercipta kejernihan dalam mengelola cara kerja pikiran dan perasaan.

Ini merupakan karunia Allah yang sangat besar. Komunikasi dengan kata-kata berhuruf sengau itu menciptakan keakraban. Lafal seperti itu memiliki kekuatan kata-akata yang diucapkan oleh orang tua dalam membina anak-anaknya, dan ini pula yang merupakan kekuatan para guru, da’i, Tuan Syekh dan para agen pembaharuan di Mandailing. Langgam bicara orang Mandailing disebut lambok, langgam bicara Angkola dan Sipirok disebut laok dan langgam bicara Padang Lawas disebut purpur. Cobalah ucapkan kalimat di bawah ini, dengan langgam bicara Mandailing dan langgam bicara Angkola, Sipirok, Padang Lawas (ASPAL) dalam satu kalimat dengan dua langgam. Dua kalimat di bawah ini memberi getaran gendang telinga yang berbeda dan kesan yang berbeda pula.

Langgam Mandailing:
Ning tulangku na di Batangtoru i, pala amang tua ni nantulang na di Pagaran Singkam ma ompungku na di Gunungtua i.
Langgam ASPAL:
Nik tulakku na di Bataktoru i, pala amaktua ni nattulang na di Pagarat Sikkam ma oppunkku na di Gunuktua i.

Contoh bahasa dunia yang sangat kaya dengan huruf sengau adalah bahasa Prancis. Lafal kata-kata bahasa Prancis yang lembut dan merdu itu, diakui sebagai bahasa peradaban. Begitu besarnya peranan bahasa Prancis dalam pergaulan dunia, sehingga salah satu syarat untuk menjadi Sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), adalah fasih berbahasa Prancis.

Bahasa Al-Qur’an, bahasa Arab, lebih kaya lagi huruf sengau dan lagu kalimatnya. Saya berpendapat, bahwa tidak sedikit pengaruh bahasa Al-Qur’an dalam memperkaya dan memantapkan bunyi huruf-huruf sengau itu ke dalam lafal bahasa Mandailing. Karena setiap huruf bahasa Al-Qur’an itu mempunyai “hak suara” yang harus diucapkan secara jelas. Orang bertanya. kenapa hal ini tidak terjadi pada bahasa Minangkabau yang juga dikenal sangat kuat dipengaruhi agama Islam? Biarlah para filolog mencari jawabannya.


Ungkapan Tradisional Tentang Holong

Salah satu rahmat yang pertama diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi adalah rasa kasih sayang, khususnya kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya, lebih khusus lagi rasa kasih sayang ibu kepada anak-anak yang dilahirkannya. Rasa kasih sayang ini, tidak hanya berlaku pada manusia, tetapi juga berlaku pada hewan, ialah rasa kasih sayang induk kepada anak-anaknya. Contohnya kita saksikan pada ayam, dan banyak hewan menyusui.

Rasa kasih sayang itu disebut holong dalam bahasa Mandailing Angkola. Banyak ungkapan tradisional Mandailing Angkola yang mengungkapkan rasa holong. Karena terbatasnya ruang dan waktu yang tersedia, saya hanya menyebutkan beberapa saja, ialah:
1. Songon siala na sampagul, rap tu ginjang rap tu toru. Muda malamun saulak lalu, muda magulang rap margulu.
2. Sahata saoloan sapangambe sapanaili. Satahi dohot dongan maroban sonang pangarohai.
3. Muda sabara sabustak, asa salumpat saindege boti sapangambe sapanaili, hasonangan na so unjung mantak, baritana sai tarbege.
4. Muda manyuruk rap unduk, muda mangambur rap gas.
5.Lambok bulung ni eme, na lambok marluyun-luyun. Lambok lidung binege, ima dalan marhalalungun.
6.Tando batu ni pangkat, lomlom gorsing songon simbora. Tandona hita na sapokat, bulung botik mardai mera.
7.Holong do mangalap holong. Muda holong rohaniba di dongan, tauken holong ma roha ni dongan di iba. Harani i inda tola iba mantak patidahon holong ni roha i tu dongan, anso di hatihana muse manjagit iba hadengganan sian dongan.
8. Muda pahae simanggurak, pahulu sitipulon, antusanna muda nibaen na denggan tu dongan, laing na dengganma jagiton balosna.
9. Mata guru roha sisean. Umpama on nidok ma i tu halak anso sai ra ia maniru na denggan di pangalaho na niidana sian dongan.
10.Muda jongjong di na tigor, batu mamak di andora.
11.Pantun hangoluan, teas hamatean.
12.Patar songon indahan di balanga.
13.Rukrek parau mambaen tu rapotna.
14.Sada do martoktok hite, sude halak markitehonsa.
15.Sada huat tu jolo dua huat tu pudi.
16.Sadao-dao ni obok-obok ujungna laing madabu tu tano.
17.Talu do gogo dibaen bisuk.
18.Tubu dingin-dingin di toru ni andomang. Horas tondi madingin, sian menek lopus matobang.

Masih banyak lagi ungkapan serupa yang menyatakan kasih sayang, seia sekata, kompak, saling menolong, saling melindungi, saling menasihati, terbuka, waspada, suka berguru, dinamik, berjiwa pelopor, tegar menghadapi tantangan apa pun juga, sopan, perbedaan pendapat justru mempererat hubungan manusiawi, berlomba-lomba berbuat kebajikan, masa lampau adalah bagian dari masa kini dan masa depan, maut adalah satu kemestian, kearifan (habisukon) adalah kekuatan sejati, berdoa selalu untuk mendapat hidup yang berkah, dst.
Judul makalah ini diambil dari ungkapan nomor 7 di atas, yang maknanya jangan bosan menebarkan kasih sayang, kasih sayang kepada orang lain akan menghasilkan kasih sayang pula. Karena itu jangan pernah berhenti berbuat kebaikan kepada orang lain, pada waktunya kita pun akan menerima kebaikan dari orang lain.

Sati Nasution gelar Sutan Iskandar yang lebih terkenal dengan nama Willem Iskander (1840-1876) meningggalkan begitu banyak sajak dan beberapa cerpen yang bertema kasih sayang. Contohnya dapat kita baca di dalam kumpulan puisi dan prosanya yang terbit tahun 1872 berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, di antaranya berjudul: Ajar ni amangna di anakna na kehe tu sikola, Angkana dohot anggina, Di danak na mompas godang, Olo-olo, Di amateon ni boruna, Na mananom na mate, Amamate ni alak na lidang, Si Baroar, dan Tiruan ni olong ni roa marangka maranggi.

Saya sudah menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia dan menerbitkannya dalam edisi dwi bahasa pada tahun 1976, 1987 dan 2002. Buku ini telah merangsang semangat kemajuan yang luar biasa. Orang-orang tua kita masih ingat bait-bait sajak karya Willem Iskander ini, walaupun terakhir kali mereka membacanya puluhan tahun yang lalu. Pesan-pesan Willem Iskander telah menjadi bagian dari perbendaharaan nasihat orang tua kepada anak-anak mereka. Willem Iskander membawa gagasan pembaharuan dengan metode holong mangalap holong.


Perantau Mandailing di Pasaman

Berabad sebelum keberadaan kaum Paderi di Sumatera Barat, orang Mandailing sudah bermukim di Pasaman. Salah satu periode orang Mandailing bermigrasi ke Pasaman adalah pada awal abad XVIII. Ketika itu terjadi pemberontakan tiga kerajaan Gunung Tua, Pidoli Lombang, Pidoli Dolok dan Pidoli Lombang, terhadap kekuasaan Baginda Mangaraja Enda, raja di raja Mandailing Godang. Pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh puteranya, ialah Sang Yang Dipertuan Hutasiantar. Raja-raja yang ditaklukkan itu kemudian eksodus dengan sebagian rakyatnya ke Pasaman. Mereka beranak pinak di sana.

Menurut H.T. Damsté, Kontrolir Distrik Opir di Pasaman (1898-1901) beberapa raja Mandailing hijrah ke Pasaman, di antaranya Raja Gumati Porang dari Pidoli Dolok yang hijrah ke Tambun Batu. Isterinya wafat di sana. Makamnya dikenal dengan nama Kuburan Batak (baca Mandailing). Raja Gumanti Porang kemudian mengajak orang-orang Mandailing di bawah pimpinan Raja Burinting Bosi, Raja Gunung Malea dan Raja Siputar, hijrah ke Dolok Joring yang sekarang dikenal sebagai daerah Sontang. Mereka menyatu dengan masyarakat Pasaman.
Dalam susunan masyarakat Pasaman ketika itu ada kelompok yang dikenal dengan nama Raja Nan Barampe’ atau dikenal juga dengan nama Anak Dalam Adat. Ada tiga orang raja-raja Mandailing di dalam jajaran fungsionaris masyarakat Pasaman Raja Nan Barampe’ itu yang memerintah di sana, ialah Raja Enda memerintah di Sitabu, Raja Ibata memerintah di Bandar, dan Raja Barayun memerintah di Saligawan. Setiap raja dibantu oleh empat kepala ripe sama seperti yang berlaku di Mandailing. Kepala ripe itu digelar Partua.

Raja Enda dari Sitabu dibantu oleh kepala ripe Pintu Sati, Ja Tambuli, Ja Gagar dan Ja Mangantar. Yang disebut terakhir ini adalah Partua di daerah itu. Ia berasal dari Simpang Lolo. Dusun Rabijonggol dan Baudo dipimpin oleh Partua Bagindo Bujang dan Sutan Marusin.
Raja Ibata dari Bandar dibantu kepala ripe Bagindo Arab, Ja Lelo, Pinto Lihin dan Malim Partamo. Yang disebut terakhir ini adalah juga Partua dari Tanjung Durian. Desa-desa kecil seperti Sibatutu, Poroman Ampolu dan Rantau Panjang merupakan wilayah kekuasaan Partua Ja Diatas. Kapala ripe di Saligawan adalah Ja Barani dan Ja Iro.

Raja Barayun dari Saligawan dibantu kepala-kepala ripe Ja Sinambar dari Poroman Kalumpang, Parmata Raja dari Lubuk Pesong, Lenggang Kuning dari Guo dan Ja Diatas dari Sibatutu (Bandar). Sedangkan Saligawan Gadang dipimpin oleh Partua Kondo Sutan.
Menurut Michiels, Gubernur Militer Pantai Barat Sumatera, penduduk inti Natal adalah orang Mandailing, sedangkan orang Melayu melulu menjadi penduduk pantai. Jadi daerah ini bukanlah daerah orang Melayu (niet tot het ware Maleisch gebied). Penduduk Pantai Barat Sumatera ketika itu berjumlah 852.980 jiwa, di antaranya 2.128 jiwa berdiam di Agam, sedangkan penduduk Mandailing Angkola adalah lima kali jumlah penduduk Agam (Michiels, 1851:21).

Mantan Asisten Residen Mandailing Angkola, A.P. Godon, anggota Indisch Genootschap menjelaskan di dalam rapat pleno Indisch Genootschap pada tanggal 27 Februari 1866, bahwa pendidikan agama Islam di Mandailing antara lain dengan membaca Al Qur'an sampai khatam. Godon mencatat istilah yang dipakai pada waktu itu dengan tamat koraän.

Godon memberikan penjelasan panjang lebar tentang wilayah, penduduk dan berbagai masalah sosial, ekonomi dan budaya di Pantai Barat Sumatera termasuk Mandailing Natal, yang bergunung-gunung dan tanahnya subur. Dalam rapat yang dipimpin oleh P.J. Bahiene itu berbicara antara lain: Godon, Van Cleef, Gevers Deynoot, Van Leer, Schill dan Van Soest. Laporan Godon yang panjang lebar dan komentar dari beberapa anggota Indisch Genootschap yang hadir dalam rapat itu, dimuat dalam Tijdschrift van Nederlandsch Indie (TNI) Nieuwe Serie; 4e Jaargang I (1866): 461-485.

Indisch Genootshap adalah organisasi Masyarakat Hindia Belanda atau dalam bahasa Inggris The Netherland Indies Society yang beranggotakan tokoh-tokoh mantan pejabat sipil dan militer di Hindia Belanda. Mereka memiliki pengalaman dan visi yang luas dan mendalam tentang wilayah itu. Para anggota organisasi ini membahas berbagai masalah yang terjadi di Hindia Belanda sebagai bahan studi dan masukan bagi pemerintah kolonial.

Berabad sebelum masa eksodus orang Mandailing ke Pasaman, agama Islam sudah dianut oleh orang Mandailing. Alam Tanah Mandailing dan alam Pasaman memiliki kesamaan. Sehingga, para migran itu tak merasa berada di rantau orang. Agama Islam yang dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin di Negeri Ulakan dan Syekh Abdul Fattah di Natal dan Mandailing secara perlahan memperkuat aqidah pemeluknya di kawasan itu. Agama Islam yang diajarkan dari rumah ke rumah, dari surau ke surau melalui pelajaran membaca Al-Qur’an oleh para guru, telah menjadikan agama Islam sebagai dasar filsafat hidup orang Mandailing di samping tradisinya.

Nilai budaya Mandailing antara lain berisi semangat membuka kampung. Kampung yang dibukanya itu, adalah kampung halamannya yang sejati. Mereka hidup damai di Pasaman. Lama kelamaan orang Mandailing berkiprah bukan saja sebagai petani dan pedagang, tetapi juga menjadi penganjur agama Islam. Mereka tampil sebagai guru agama, pengurus masjid, tuan kadi, mengurus zakat dan wakaf, menjadi imam dan bilal. Pokoknya mereka tampil di tengah-tengah masyarakatnya sendiri dan di tengah-tengah masyarakat Minangkabau yang berdiam di Pasaman.
Yang menarik adalah peranan orang Mandailing di Pasaman berperan penting dalam menyebarkan Islam sebagai guru mengaji. Banyak guru-guru mengaji mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an di rumah-rumah para guru mengaji itu di mana anak-anak Mandailing dan Minangkabau belajar bersama. Sudah barang tentu bahasa Mandailing adalah bahasa pengantar. Dengan demikian, orang-orang Minangkabau di Pasaman fasih berbahasa Mandailing. Demikian juga orang Mandailing fasih berbahasa Minangkabau.

Orang Mandailing di Pasaman menganut Mazhab Syafi’i yang toleran pada tradisi. Ada orang yang memperdalam ilmu agamanya kepada para Tuan Syekh yang ada di banyak tempat. Ada pula yang menjadi pengikut Tariqat, bersuluk untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Begitulah agama Islam tersebar melalui dakwah yang damai, sejuk dan diikat oleh rasa holong.

Beberapa perguruan pun kelak muncul di beberapa tempat di Pasaman dan Mandailing. Perguruan yang paling besar adalah Madrasah Musthofawiyah di Purba Baru yang didirikan oleh Syekh Musthofa Husein pada tahun 1915. Madrasah ini merupakan warisan para ulama yang sangat besar peranannya dalam dakwah Islamiyah. Santrinya kini tidak kurang dari 8.000 orang yang datang dari berbagai penjuru Sumatera Utara, dan tentu saja juga dari Pasaman, bahkan dari Malaysia. Dua orang tokoh nasional, Nuddin Lubis dan Aminuddin Aziz Pulungan, adalah alumni madrasah ini.

Pemandangan yang menakjubkan dapat disaksikan pada menjelang subuh di Purba Baru, ketika ribuan santri berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Pemandangan seperti ini sukar dicari tandingannya di Sumatera Utara, bahkan mungkin di Sumatera. Kini ada puluhan pesantren di seluruh Mandailing, ditambah lagi dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Madina (STAIM) dan madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai tingkat Aliyah baik negeri maupun swasta.

Hubungan antar kerabat Mandailing di Pasaman dan di Mandailing tetap berlangsung melalui perjodohan. Pilihan pertama dalam mencari jodoh adalah beragama Islam dan sesama kerabat Mandailing baik yang berdiam turun temurun di Pasaman maupun yang berdiam di Mandailing. Perkawinan mangulai pangkal, ialah perkawinan di antara generasi ketiga dan seterusnya untuk melestarikan hubungan kekerabatan. Sehingga hubungan kekeluargaan berdasarkan hubungan darah tetap dapat dilestarikan.

Perkawinan antar suku, antara orang Mandailing dengan orang Minangkabau pun kerap terjadi. Kedua belah pihak selalu memusyawarahkan adat mana yang dipakai. Kadang-kadang dipakai salah satu adat pernikahan, atau keduanya masing-masing di rumah kerabat Mandailing memakai adat Mandailing, sedangkan acara di rumah kerabat Minangkabau dilaksanakan pula adat Minangkabau. Begitulah terjadi akulturasi yang kuat yang direkat tali kekerabatan dan nilai-nilai Islam yang kuat (Naim, 1976).

Kerabat orang Mandailing yang berada di Mandailing banyak yang mengirimkan anak-anak mereka belajar agama Islam ke Pasaman. Demikian juga sebaliknya. Sehingga hubungan yang harmonis berjalan dengan baik.

Akulturasi tidak saja dalam perkawinan dan hubungan sosial lainnya, tetapi juga terjadi dalam bidang-bidang lain seperti pertukangan, kerajinan dan makanan. Para tukang rumah dan masjid orang Mandailing di Pasaman banyak membangun rumah dan masjid di Mandailing. Para tukang Mandailing itu bekerjasama dengan para tukang Minangkabau. Hasilnya adalah seni arsitektur rumah dan masjid di Mandailing sama dengan yang terdapat di Pasaman atau tempat lainnya di Sumatera Barat. Teknologi tepat guna juga diperoleh orang Mandailing dari perantau Mandailing di Semenanjung dan Pasaman, antara lain losung aek ialah kincir yang digerakkan dengan menggunakan pancuran air untuk mengangkat dan menjatuhkan alu-alu besar untuk menumbuk padi. Ada ungkapan terkenal tentang losung aek ini ialah:

Losung di Pidoli
Tumbuk salapan indaluna
Janjinta na sanoli
Tumbuk tu halak do laluna

Yang paling menarik adalah akulturasi dalam bidang masakan. Perantau Mandailing di Pasaman berabad sebelum keberadaan kaum Paderi sudah memperkenalkan berbagai masakan kepada kaum kerabatnya di Mandailing. Pada awalnya makanan khas itu mereka bawa sebagai oleh-oleh kepada kaum kerabat di kampung asalnya. Atau sebaliknya, kaum kerabat yang berkunjung ke Pasaman belajar memasak makanan khas itu, kemudian memperkenalkannya kepada kaum kerabat di Mandailing. Begitulah berlangsung berabad-abad. Makanan yang saya maksudkan itu adalah alame, lomang, karakoling, tape sipulut, gogok-godok dan rondang. Semula semua masakan ini disajikan pada hari-hari besar Islam, terutama pada hari raya Idul Fitri. Alame dimasak beberapa hari menjelang lebaran. Tetapi lomang dimasak sehari sebelum lebaran, itulah hari yang disebut sadari mangalomang. Biasanya para perantau sudah tiba di kampung paling lambat pada sadari mangalomang, karena keesokan harinya adalah 1 Syawal. Inilah saat-saat yang paling manis dalam kehidupan orang Mandailing.

Menarik sekali orang Mandailing kemudian mengembangkan makanan khas itu menjadi Toge Panyabungan, ialah campuran berbagai makanan lezat seperti tape, cendor dll. Orang yang pernah mencicipi semua makanan itu mengakui bahwa masakan yang dimasak oleh orang Mandailing jauh lebih lezat daripada masakan yang sama buatan Minangkabau. Mungkin, orang Mandailing memasak masakan itu bukan untuk dijual, tetapi untuk dinimati sendiri.

Persebaran orang Mandailing tidak hanya ke Pasaman, tetapi juga ke Barumun, bahkan ke daerah, Dalu-Dalu, Pasir Pangarayan, Rantau Binuang yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kampar, Riau, dan Lumut di Tapanuli Tengah. Banyak kampung di Barumun Sosa yang sama namanya dengan kampung-kampung di Mandailing yang penduduknya berbicara dengan langgam Mandailing, misalnya Panyabungan, Sinonoan, Siabu, Hutabargot, dll. Marga Mandailing pun terdapat di sana, misalnya Nasution dan Lubis.

Satu fakta sejarah memperlihatkan, kecenderungan pria ASPAL untuk mempersunting gadis Mandailing lebih kuat daripada kecenderungan pria Mandailing mempersunting gadis ASPAL. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kalangan masyarakat umum, tetapi juga di kalangan parbagas godang, kalangan raja-raja. Alasannya ialah, gadis Mandailing lebih lemah lembut, keibuan, lebih religius, lebih sabar, dan mungkin juga karena kecantikannya. Kecenderungan itu masih tetap ada, walaupun gadis Mandailing bukanlah pekerja keras di sawah dan kebun.
Menurut Godon, de Mandhelingsche vrouw is eene goede moeder, perempuan Mandailing adalah ibu yang baik (Godon, 1872:36 ; Harahap, 2004:213 ; 2007:167).

Saya menemukan, bahwa Poda Na Lima yang terkenal itu berasal dari nasihat-nasihat ibu Mandailing, ialah:
1.Paias rohamu.
2.Paias pamatangmu.
3.Paias parabitonmu.
4.Paias bagasmu.
5.Paias pakaranganmu.

Ini merupakan inti sari dakwah Islamiyah yang sangat bernas yang dilaksanakan secara damai, penuh rasa kasih sayang, dan sarat dengan ajaran agama Islam yang diawali dari rumah dalam kalangan keluarga batih. Poda Na Lima itu kemudian menjadi milik masyarakat, yang secara berkesinambungan disampaikan bukan saja di dalam rumah tangga, tetapi juga di dalam majelis adat. Poda Na Lima kemudian menjadi salah satu nasihat yang dimasyarakatkan oleh Pemerintah dengan menuliskannya pada papan-papan pengumuman. Bahkan di depan Pasanggrahan Kotanopan pernah dibangun satu tugu Poda Na Lima dalam bahasa dan aksara Mandailing.

Prof.Dr. H. Abdurrahman Ritonga, M.Pd. mengungkapkan bahwa dahulu, ada orang Sipirok datang ke Mandailing untuk menghadiri horja, pesta adat. Ia menyaksikan orang Mandailing menjalankan agama Islam dengan baik. Hal ini ia ceritakan kepada kaum kerabatnya tentang pengamalan ajaran Islam yang bagus di Mandailing itu. Orang Sipirok pun belajar agama Islam di Mandailing dan daerah lain. Menurutnya, cara beragama orang Sipirok tidak sebaik cara beragama orang Mandailing (Ritonga, 2006:238-242).

Ini merupakan bukti, bahwa orang Mandailing berdakwah dengan holong. Horja adalah puncak aktualisasi rasa holong yang diungkapkan dengan kata-kata dan perbuatan. Horja secara harfiah adalah kerja. Namun konsep secara hermenetik, lebih bermakna daripada pengertian harfiah kerja. Horja diartikan secara lahir dan batin. Aktivitas horja adalah aktivitas di mana sedang berlangsung suatu upacara pesta karena ada anugerah hidup. Perkawinan adalah horja, kelahiran anak adalah horja, membangun dan menempati rumah baru adalah horja, kerja gotong royong adalah horja. Seluruh tatanan Dalihan Na Tolu mengambil bagian dalam horja. Menyukseskan horja adalah hak sekaligus kewajiban. Bahkan warga masyarakat yang tidak diikut sertakan di dalam menyukseskan horja akan menuntut haknya untuk ikut, meskipun keikutsertaan itu sesungguhnya merupakan pengorbanan. Namun pengorbanan dalam menyukseskan horja adalah pengorbanan yang tulus ikhlas (Harahap, 1987b:6). Jadi, peristiwa horja adalah peluang untuk berdakwah yang paling efektif.


Paderi Tak Berkesan Karena Menafikan Rasa Holong

Selama ini orang beranggapan, bahwa kaum Paderilah yang membawa Islam ke Mandailing. Anggapan itu tidak benar. Tak satu pun bekas peninggalan kaum Paderi tersisa di Mandailing, misalnya dalam hal aliran atau madrasah. Tidak ada sama sekali. Bagaimana mungkin ajaran agama Islam dapat melekat dan dianut secara sungguh-sungguh yang disebarkan dengan kekerasan, pembakaran kampung, pembunuhan, penjarahan, perbudakan dan perkosaan?

Islam dibawa oleh orang Mandailing sendiri berabad sebelum keberadaan kaum Paderi seperti telah diungkapkan terdahulu. Itu sebabnya, orang di Mandailing terheran-heran dan takut bukan kepalang, ketika kaum Paderi datang dengan garang membakari kampung-kampung. Penduduk yang berhasil menyelamatkan diri lari ke hutan-hutan, hidup dan makan seadanya di hutan-hutan selama bertahun-tahun. Tetapi lebih banyak lagi yang dibunuh atau dijadikan budak untuk diperjual belikan.

Menurut catatan Willer, mantan penguasa sipil di Padang Lawas (1838-1843) kemudian Asisten Residen Mandailing Angkola berkedudukan di Panyabungan (1843-1848), tidak kurang dari 2.500 rumah dibakar oleh kaum Paderi di Panyabungan, 1.500 orang dipenggal, 1.200 diikat untuk dijual menjadi budak dan sisanya menyelamatkan diri ke hutan belantara (Willer, 1846).

Nara sumber saya, seorang nenek berusia 80-an pada awal tahun 1960-an, menceritakan penderitaan nenek perempuannya. Neneknya yang beranjak gadis remaja pada masa Perang Paderi, terpaksa hidup menderita bertahun-tahun di hutan belantara Bukit Barisan bersama keluarga dan orang sekampungnya.

Begitulah “dakwah” yang dilakukan oleh kalangan ekstrim, membuat orang Islam menjadi terheran-heran, karena “dakwah” kaum Paderi justru menimbulkan penderitaan dan kenangan pahit pada semua masyarakat yang dilanda Perang Paderi itu.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa walaupun begitu ganas dan kejamnya kaum Paderi menyiksa, membunuh, memperkosa, memperjual belikan manusia (human traficking), menjarah, membakar kampung dan membakar naskah-naskah kuno dalam bahasa dan aksara Mandailing yang berisi banyak ilmu pengetahuan dan kearifan lokal Mandailing, namun orang Mandailing tak pernah menyimpan dendam, apalagi dendam kesumat.

Pergaulan orang Mandailing dengan orang Minangkabau sangatlah eratnya, barangkali paling erat dibandingkan dengan pergaulan orang Minangkabau dengan etnis lain. Jika orang Mandailing memperkenalkan dirinya sebagai orang Mandailing apalagi dilafalkan dengan logat Minangkabau, Urang Mandailiang, niscaya terasa ada getaran gaib yang mengeratkan hubungan batin keduanya. Saya mempunyai banyak pengalaman seperti itu.

Semoga uraian ini ada manfaatnya.
Panyabungan, 15 November 2007 (HUT 67) = 14 Syawal 1428 (HUT 70)


BACAAN RUJUKAN

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1985, Upacara tradisional yang berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan Daerah Sumatera Barat / Boestami, Zaiful Anwar, H.S.M. Delly, et. al. ; Editor Dra. Nurana. – Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. – viii, 308 [1] p.

Godon, Alexander Philippus
1862, "De Assistent Residentie Mandheling en Angkola op Sumatra's Westkust van 1847 tot 1857". – Dalam: Tijdschrift voor Nederlands Indie; 1862; (Deel II):1-41.

Hamka
1974, Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao": Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya "Tuanku Rao". – Jakarta : Bulan Bintang. – 363 hal.

Harahap, Basyral Hamidy
1987a “Islam and Adat Among South Tapanuli Migrants in Three Indonesia Cities.” – Makalah pada Tenth Annual Indonesian Studies Conference di Ohio University, Agustus 1982. – Dalam: Indonesian Religions in Transition / eds. Rita Smith Kipp and Susan Rodgers. – Tucson : The University of Arizona Press. – pp. 221-237. – ISBN 0-8165-1020-2 (alk paper)
1987b Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak : Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Mandailing / Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan. – Jakarta : Sanggar Willem Iskander. – xiv, 241 p. – ISBN 979-8067-00-9
1987c “The Political Trends of South Tapanuli and its Reflection in the General Elections (1955, 1971 and 1977).” – In: Cultures and Societies of North Sumatra. – Berlin; Hamburg : Dietrich Reimer Verlag. – pp 151-169. – ISBN 3-496-00181-X
1993 Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. – Jakarta. – xxxiii, 598 [60] hal. – (ISBN 979.8447-00-X).
1996a "Adat istiadat Mandailing: Pengaruh dan tantangan dalam gerakan kependidikan Willem Iskander. " – Makalah pada Seminar Sehari Gerakan Kependidikan Willem Iskander, diselenggarakan oleh Kanwil Depdikbud Provinsi Sumatera Utara, Medan, 18 Januari 1996.
1996b "Willem Iskander: Guru yang Terlempar Jauh ke Masa Depannya". – Dalam: Nalar dan Naluri: 70 Tahun Daoed Joesoef. – Jakarta : CSIS. – hal. 185-227 (ISBN 979-8026-44-6).
1997"Orientasi Pembangunan Mandailing: pelajaran dari sejarah." – Makalah pada Sarasehan Masyarakat Mandailing di Jakarta, 12 Juli 1997. – Jakarta : Pengurus HIKMA.
2004 Pemerintah Kabupaten Madina membangun masyarakat yang madani: suatu studi perbandingan. – Cet. 1. – Panyabungan : Pemkab Madina. – 424 [62] hal. – (ISBN 979-98376-0-X).
2005a Fakta dan angka: Statistik pendidikan Kabupaten Mandailing Natal 2005. – Panyabungan : Dinas Pendidikan Madina. – xii, 88 hal. – (ISBN 979-99704-0-7).
2005b Rakyat mendaulat Taman Nasional Batang Gadis. – Panyabungan : Pemkab Madina. – xvi [16], 132 hal. – (ISBN 979-98376-1-8).
2006a “Syekh Abdul Halim Hasan dan Perubahan Sosial. – Dalam: Tafsir Al Ahkam / oleh Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. – Jakarta : Prenada Media Group, 2006. – hal. xlix-lv.
2006b “Ulama dan Perubahan Sosial”. – Makalah pada peluncuran Tafsir Al Ahkam karya Syekh Abdul Halim Hasan Binjai, di Hotel Garuda Plaza, Medan, 17 Juni 2006. – 12 hal.
2007 Greget Tuanku Rao. – Jakarta : Komunitas Bambu. – xiii, 303 hal. – ISBN 978-979-3731-16-2

Iskander, Willem
1872 Si Boeloes-Boeloes Si Roemboek-Roemboek. – Batavia : Landsdrukkerij.
1977 Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk: sebuah buku bacaan / yang ditulis oleh Willem Iskander ; diterjemahkan dari bahasa Mandailing ke dalam bahasa Indonesia oleh Basyral Hamidy Harahap. – Cet. 1. – Jakarta : Campusiana. – 107 hal.
1987 Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk : dwi bahasa / dengan pengantar dan terjemahan Basyral Hamidy Harahap. – Cet. 2. – Jakarta : Penrebit Puisi Indonesia. – viii, 113 hal. – (Terbitan ke-44).
2002 Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk : dwi bahasa / pengantar dan terjemahan oleh Basyral Hamidy Harahap. – Cet. 3. – Jakarta : Sanggar Willem Iskander. – xi, 109 hal. – (ISBN 979-8067-01-0).

Michiels, A.V.
1851 De Toestand van Sumatra's Westkust in 1848. - Hertogenbosch : Mullet.

Müller, S.
1855 Reizen en Onderzoekingen in Sumatra, gedaan op last der Nederlandsche Indische Regering, Tusschen de Jaren 1833 en 1838 / door Dr. S. Müller en Dr. L. Horner leden der Natuurkundige Commissie in Nederlandsch Indië bewerkt door Dr. S. Müller ; Uitgegeven van Wege het Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land - en Volkenkunde van Neêrlandsch Indië. - ‘s Gravenhage, K. Fuhri. – 201 p.

Naim, Mochtar
1977 “Segi-segi kehidupan budaya di Pasaman Barat”. – Dalam: Panji Masyarakat; no. 200, 201, 202 (1976):39-41, 35-37, 33-34.

Parlindungan, Mangaraja Onggang
1964 Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam di Tanah Batak 1816-1833. – Djakarta : Tandjung Pengharapan. – 691 hal.

Ritonga, Abdurrahman
2006 Halilian: turi-turian ni halak Sipirok banggo-banggo. – Medan : Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Utara. – ix, 308 hal.

Schnitger, F.M.
1991 Forgotten Kingdoms in Sumatra / by F.M. Schnitger ; with contributions by C. von Führer-Haimendorf and G.L. Tichelman ; with an introduction by John N. Miksic ; First published 1939 by E.J. Brill, Leiden. Introduction 1989 ; First Published in Leiden by E.J. Brill, 1939 ; Reprinted 1964 ; First issued (with corrections) as an Oxford as an Oxford University paperback 1989 ; Second impression 1991. – Singapore ; Oxford ; New York : Oxford University Press . – ISBN 0-19-588905 3.

Stapel, F.W.
1955 Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum. – ‘sGravenhage : Martinus Nijhoff.

Teitler, G.
2004 Het einde van de Padrie-oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bonjol 1834-1837 : een bronnenpublicatie / G. Teitler. – Amsterdam : De Bataafsche : Leeuw. – 189 hal. – ISBN 90-6707-554-X

Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah …
1997 Pahlawan Nasional Tuanku Tambusai (Hamonangan Harahap / Muhammad Saleh): Sejarah Ringkas Kehidupan dan Perjuangannya. – Medan. – iv, 30 hal.

Tugby, Donald
1977 Culture Change & Identity: Mandailing Immigrants in West Malaysia. – Santa Lucia, Queensland: University of Queensland Press. – ISBN 0 7022 1361 6

Tuuk, Herman Neubronner van der
2002 Een Vorst onder de taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk Taalgevaardigde voor Indië van het Nederlandsch Bijbelgenootschap 1847-1873: Een bronnenpublicatie / door Kees Groeneboer. – Leiden : KITLV Uitgeverij. – 965 hal. ; ilus. – ISBN 90 6718 1560.

Wan Mohammad Shaghir Abdullah
2007 "Syeikh Hamzah al-Fansuri sasterawan sufi agung". – http://www.waqaf.net>>Siri Ulama Nusantara. – 4 hal.

Willer, T.J.
1841 Volksverspreiding en erfopvolging (1841). In: Adatrecht bundles XXXVIII: Gajo, - Alas- en Bataklanden. – ‘s Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1936. - pp. 330-368.
1846 Verzamelling der Battahsche wetten en instellingen in Mandheling en Pertibie: gevolgd van een overzigt van land en volk in die streken. [Met een bladwijzer vermeerderde overdruk Tijdschrift voor Neerland’s Indie, VIII]. – Batavia : 1846.
posted at 11:32:57 on 12/24/07 by rajungan - Category: General

Comments

No comments yet

Add Comments

You must be logged in as a member to add comment to this blog