Blog of Basyral Hamidy Harahap

28 January

IHWAL KELAHIRAN GREGET TUANKU RAO

KARYA BASYRAL HAMIDY HARAHAP TERBITAN KOMUNITAS BAMBU

(Catatan Kecil untuk Ahli Waris MOP)




Berangkat dari berita diskusi Perang Paderi di Arsip Nasional 22 Januari 2008, ahli waris MOP menanyakan soal pengakuan Basyral Hamidy Harahap penulis buku Greget Tuanku Rao, komunitas Bambu, 2007, di forum diskusi itu ihwal asbabul nuzul bukunya. Basyral Hamidy Harahap mengatakan bahwa bukunya berasal dari kata pengantar buku Tuanku Rao karya MOP yang tidak jadi dipakai. Pasalnya, ahli waris menolak buku papinya diterbitkan ulang dengan pengantar. Maka pengantar itu pun kemudian diminta diluaskan oleh penerbit hingga menjadi buku.

Sebab itu disini, saya JJ Rizal, mewakili Komunitas Bambu, mencoba mendudukan persoalan itu agar menjadi lebih jembar dan tidak menimbulkan salah paham.

Pada 16 November 2006, dalam sebuah acara Pekan Sejarah I di FIB UI yang diselenggarakan Komunitas Bambu, Onghokham Institut dan FIB UI, seorang pembicara Adji Damais menyarankan kepada saya sebagai orang Komunitas Bambu untuk menerbitkan buku Tuanku Rao karya MOP. Di depan peserta seminar ia katakan, “Itu buku cerita yang menarik juga kontroversi. Penerbitan ulang di jaman ilmu sejarah telah berkembang tentu akan memberikan nuansa lain”, katanya. Tetapi ia menggaris bawahi usulnya itu, supaya dalam penerbitan baru itu sebaiknya buku cerita itu diberi pengantar oleh seorang ahli mengenai Islam di daerah Batak.

Saat itu juga, saya langsung berdiri dan menyatakan: “Sudah disiapkan Pak, tinggal mencari ahli warisnya”. Kemudian Pak Adji menyatakan akan membantu juga mencarikan jalan untuk menemukan ahli waris MOP. Sayang ia tak berhasil membantu menemukan sang ahli waris MOP.

Meski demikian saya sangat setuju dengan saran Pak Adji. Kalau hendak menerbitkan ulang buku itu memang sebaiknya diberi pengantar oleh seorang ahli tentang Islam dan Batak. Saya sadar betul bahwa bagaimanapun harus pandai-pandai memainkan sisi idealis dan komersial. Dari segi komersial, tentu saja buku itu dengan kontroversi dan mitos pelarangannya, sudah mempunyai nilai jual yang tinggi kelak ketika masuk pasar. Bahkan, ia telah mempunya pasar yang telah berjaga dengan “mulut menganga siap mencaplok” begitu turun cetak.


Tetapi bagaimanapun saya dan penerbit Komunitas Bambu mempunyai tanggung jawab moral (kalau tidak bisa disebut tanggungjawab intelektual) untuk tidak membiarkan begitu saja apa adanya buku itu nyelonong memasuki pasar di jaman penerbitan barunya. Bagaimanapun buku itu memang mempunyai banyak sisi yang mesti diberi catatan. Sebuah pengantar dari seorang ahli tentu bukan saja akan menjadi catatan, tetapi juga “rem” agar orang jangan menganggap buku itu sebagai suatu accepted history (kebenaran sejarah), seperti yang dulu-dulu telah terjadi bahkan makan korban yang dari kelas awam sampai sekaliber pakar sekalipun. Tetapi lebih pada suatu “wacana penggoda”, “obat perangsang nalar” yang dapat menyuburkan diskusi menyangkut praktek Islam garis keras dan pemaksaannya sebagai sebuah aturan bermasyarakat, dan peranan diskusi ulang untuk menilai tokoh-tokoh di sekitar peristiwa di Sumatra Barat, Tanah Batak juga Riau pada abad 19.

Bukankah hal ini belakangan sedang menjadi trend dalam bentuk penerapan UU Syariat Islam di beberapa daerah di Indonesia? Itulah pemikiran saya dan teman-teman di Komunitas Bambu. Selain itu, ada gelombang ujian kepahlawanan beberapa tokoh dan perkaitannya dengan peristiwa sejarah, misalnya buku Leonard Andaya, soal Aru Palaka. Juga terutama akhinya adalah “pratek kotor” makelar pahlawan yang semakin bersimaharajalela.

Dengan kerangka pemikiran itulah kami bergerak mencari ahli waris MOP sampai kemudian saya dengar berita, kalau penerbit LKiS juga sedang mencari ahli waris MOP. Saya memang sudah menduga, setelah penerbitan Slametmulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, maka LKiS tentu akan mencari babonnya, yang dirujuk Slametmulyana, yaitu buku MOP. Apalagi di pasar juga buku Slametmulyana itu tidak sekadar “goyang ike nurjanah” tetapi sudah sampai taraf “goyang inul”, ngebor dan mengocorkan banyak pundi-pundi. Tentu buku MOP akan lebih dari sekadar “goyang ngebor” bahkan mungkin akan juga membangkitkan sebuah polemik serta kontroversi baru.

Maka secara diam-diam dua penerbit pun bersaing memburu ahli waris MOP. Saling berlomba menyiapkan materi sehingga begitu dapat persetujuan bisa langsung di “goreng”. Dalam konteks itulah saya segera kasih perintah supaya juru tik menyalin ulang buku MOP. Juga membuat sejumlah list nama yang dianggap paling pantas menuliskan pengantar untuk mendudukan buku MOP dalam konteks sejarah dan kebudayaan Batak, Islam dan akhirnya hikmah yang dapat diambil dari penerbitan baru buku itu.

Akhirnya setelah mengayak sejumlah nama, Komunitas Bambu memutuskan Basyral Hamidy Harahap yang paling pantas. Bukankah ia telah menjadi semacam “ensiklopedi berjalan sejarah dan kebudayaan Batak”. Apalagi ia berasal dari Mandailing pula, satu daerah yang diinterpretasikan sebagai tanah asal Tuanku Rao juga Tuanku Tambusai, tokoh sentral dan panglima perang Paderi. Lebih jauh ia pun seorang Islam dengan pengetahuan hukum dan kaidah Islam yang dalam. Berpengalaman pula dalam riset ilmiah yang kuat, menguasai banyak bahasa dan sumber. Ia melebihi kriteria yang kami punya.

Kebetulan pula pemilik kantor Komunitas Bambu yang kami tempati sekarang adalah kerabat dekat dari Basyral Hamidy Harahap. Dalam waktu yang singkat, mudah saja kami menjalin kontak dengan Basyral Hamidy Harahap. Ia pun antusias menyambut permintaan kami dan setuju dengan konsep penerbitan ulang yang kami rancangkan untuk buku MOP. Ia memberi catatan supaya jangan kaget kalau nanti ide penerbitan ulang buku MOP yang digagas Komunitas Bambu mentok di hadapan ahli waris MOP. Sebab bukan tak mungkin mereka menghadapi buku itu sebagai barang pusaka. Tetapi bagaimanapun Basyral Hamidy Harahap akan tetap mengerjakan pesanan pengantar untuk buku MOP. Bahkan ia bersedia mengupayakan untuk mencarikan kontak dengan ahli waris MOP, dengan menggunakan jaringan Batak yang dipunyai, apalagi kebetulan dulu ia sempat beberapa kali bertemu dengan MOP.

Sementara itu, LKiS dan Komunitas Bambu yang sama-sama berkantor di Depok, dan juga saya sendiri, sering segalang segulung alias kesana kemari dengan Sholeh Isre yang menjadi penguasa teritorial LKiS Jakarta. Maka saya pun di sela-sela obrolan, sering membicarakan usaha kami memburu ahli waris MOP. Sholeh pun sering berkelakar dengan saya bahwa kedudukan nanti bisa 2 : 0. Maksudnya, sebelumnya saya sudah kalah dalam pertarungan memburu ahli waris Slametmulyana. Dan kali ini Sholeh betul, ternyata LKiS lebih dulu berhasil mendapatkan kontak dengan anak MOP. Lebih jauh lagi saya dengar pula bahwa mereka sudah saling OK ihwal penerbitan baru buku karya MOP. Tetapi seingat saya, kata Sholeh ahli waris menyetujui dengan catatan:

1.Buku tidak boleh dirobah sedikit pun juga, bahkan termasuk salah ketiknya. Buku harus tampil seperti tampilan aslinya luar dan dalam.
2.Tidak perlu pengantar.

Saya tidak tahu bagaimana LKiS menyikapi catatan ahli waris MOP itu. Tetapi saat mendengar soal catatan itu, saya langsung merasa, bahwa benar apa yang telah disinyalir Basyral Hamidy Harahap. Bahwa, buku itu bisa jadi dianggap barang keramat oleh keluarga MOP. Kalau pun seandainya saya berhasil menang dan menjalin kontak lebih dulu dengan ahli waris MOP, tentu tetap saja akan sulit untuk menemukan titik temu dengan pemikirannya yang demikian.

Saya segera mengontak Basyral Hamidy Harahap. Saya mengungkapkan, bahwa Komunitas Bambu tidak jadi menerbitkan buku MOP. Saya juga mengungkapkan kepada Basyral Hamidy Harahap, perihal permintaan ahli waris MOP yang saya dengar dari Sholeh tersebut. Ia menanggapi dengan sekali lagi mengulangi pembicaraan “barang pusaka, keramat”. Kamudian Basyral Hamidy Harahap pun menanyakan kepada saya:

“Bagaimana dengan pengatar yang sedang saya kerjakan?”
“Teruskan saja Pak, kita bikin menjadi buku kecil (pocket book), sekitar 150-200 halaman. Bagaimanapun, jika kelak buku Tuanku Rao itu terbit, setidaknya ada buku pembandingnya,” begitu jawab saya.

Demikianlah, saya rasa begitulan asal-muasal perkataan Basyral Hamidy Harahap ihwal pengantar untuk buku MOP yang kemudian menjadi buku Basyral Hamidy Harahap sendiri seperti yang ditanyakan oleh ahli waris MOP. Ya, dari sebuah pengantar kemudian berkembang ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap menjadi sebuah buku kecil. Kemudian berkembang dan jumlah halamannya terus bertambah mengikuti bahan-bahan bacaan Basyral Hamidy Harahap yang dirujuk. Naskah buku itu pun meluas, bukan saja memberikan catatan atas ketidakakuratan bahkan kesalahan yang ada di buku MOP, lebih jauh lagi membahas yang luput dari perhatian MOP.

September 2007, Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidy Harahap mulai masuk pasar. Sedangkan terbitan ulang buku Tuanku Rao karya MOP sudah masuk pasar buku kurang lebih tiga bulan sebelumnya. Keduanya bersanding, didiskusikan di mana pun sebagai sejoli dengan kekhasan masing-masing. Buku karya Basyral Hamidy Harahap sebagai buku baru, dan buku MOP dengan tetap seperti apa adanya tak geser barang sepotong selain teknik cetaknya saja. Kedua buku itu telah hadir bersama dengan keunikannya sendiri-sendiri dan saling dukung. Sehingga saya dan teman-teman merasa, bahwa setidaknya apa yang kami harapkan semula sudah terwujud, yaitu agar menggulirkan diskusi dan peninjauan ulang terhadap beberapa hal menyangkut kepahlawanan. Tinggal yang belum, adalah perihal yang menyangkut praktek bersyariat Islam yang dipaksakan sebagai sistem sosial dan demi tujuan-tujuan politis-ekonomis sepihak yang picik. Mudah-mudahan saja kedua buku itu, dengan kekuatannya masing-masing, akan mampu menggulirkan diskusi hingga sampai kesana.

Tabe serta hormat,

JJ Rizal
Direktur Penerbit Komunitas Bambu
posted at 19:45:27 on 01/28/08 by rajungan - Category: General

Comments

No comments yet

Add Comments

You must be logged in as a member to add comment to this blog