Blog of Basyral Hamidy Harahap

07 September

Dari Panyabungan ke Madina 3

TRIO PENEMBUS WAKTU

Dalam pandangan saya, Bapak Amru Daulay, S.H. adalah satu di antara trio yang telah mengubah Mandailing Natal dari kegelapan ke pencerahan untuk meraih kemajuan. Trio itu telah berhasil membuat terowongan waktu yang digunakan untuk menoleh ke belakang sebagai guru tentang apa yang telah berlalu, berdiri pada kurun di mana mereka berada, dan memandang ke depan yang jauh untuk meraih kemajuan sepanjang zaman. Mereka adalah: Patuan Moksa, Alexander Philippus Godon dan H. Amru Daulay, S.H.
Trio pertama, Si Baroar gelar Patuan Moksa, adalah pendiri Dinasti Nasution yang menurunkan raja-raja di Mandailing Natal. Selain itu, Patuan Moksa adalah pendiri Panyabungan dengan mengganti nama Dori Soit menjadi Panyabungan. Patuan Moksa membangun Pasar Panyabungan sebagai pusat kegiatan ekonomi di simpang empat menurut arah angin, ialah ke arah barat Panyabungan Tonga-Tonga, ke timur Hutasiantar, ke utara Gunung Tua dan ke selatan Pidoli. Pasar ini menjadi pusat perdagangan komoditi ekspor dan impor untuk wilayah kekuasaan Patuan Moksa dan negeri-negeri sekitarnya.
Trio kedua, Alexander Philippus Godon, Asisten Residen Mandailing Angkola selama sembilan tahun (1848-1857). Seorang amtenar lulusan sekolah teknik, membangun jembatan Aek Godang dengan konstruksi kayu pada tahun 1848 dan jalan raya ekonomi ke pelabuhan Natal sepanjang kl. 90 kilometer yang selesai 1853. Mega proyek ini dibangun bersama penduduk dan raja-raja bersama Godon sendiri. Gubernur Pantai Barat Sumatera, Van Swieten, dua kali datang meresmikan jalan raya ekonomi ini, pada tahun 1851 dan 1853.
Godon juga membuka sawah-sawah baru, perkebunan rakyat terutama kopi dan penanaman kelapa di sepanjang jalan di kampung-kampung, menggalakkan tanaman pekarangan untuk kopi, membangun sekolah dll.
Ketika Godon bersama Sati Nasution gelar Sutan Iskander (kelak lebih dikenal dengan nama Willem Iskander), pada bulan Februari 1857, meninggalkan Panyabungan menuju Negeri Belanda, ribuan orang berbaris di jalan dengan wajah duka karena Godon meninggalkan mereka. Mereka berteriak: Tuan datanglah kembali (Mijnheer kom terug).
Trio ketiga, H. Amru Daulay, S.H. yang pada tahun 2002 pernah saya katakan kepada beliau, “Bapak adalah Godon masa kini”. Langkah kedua pendahulunya, Patuan Moksa dan Alexander Philippus Godon, dilanjutkannya, ialah membangun Mandailing Natal, dan mengubah nama Panyabungan menjadi Madina sebagai pusat bisnis untuk wilayah Sumatera Tenggara dan Pasaman.
Apa yang dilakukan oleh Bapak H. Amru Daulay, S.H. adalah lanjutan dari semua yang dilakukan oleh Patuan Moksa dan Alexander Phlippus Godon dengan melakukan inovasi baru sebagai tanggapan terhadap tuntutan zaman.
Atas segala prestasinya dalam banyak bidang itu, Bapak H. Amru Daulay, S.H. telah menerima banyak penghargaan dari dalam dan Luar Negeri. Ini merupakan bukti keberhasilan kinerjanya dalam mengemban tugas memajukan masyarakat Mandailing Natal. H. Amru Daulay, S.H. akan tercatat dalam sejarah Madina sebagai penembus terowongan waktu dalam membangun Madina.



GANTI NAMA

Sekarang tentang perubahan nama kota, provinsi dan negara di dunia dilakukan sebagai tanggapan terhadap perubahan ke arah yang lebih baik, sesuai dengan tuntutan zaman. Beberapa contoh ialah: Ceylon berubah menjadi Sri Lanka, Birma berubah menjadi Myanmar, Rangoon berubah menjadi Yangon, New Amsterdam menjadi New York, dst. Hal serupa terjadi pula di Indonesia, di antaranya: Jayakarta menjadi Batavia kemudian menjadi Jakarta, Bogor menjadi Buitenzorg kemudian kembali menjadi Bogor, Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, Kotaraja menjadi Banda Aceh, Makassar menjadi Ujung Pandang kemudian kembali menjadi Makassar, Bukit Tinggi menjadi Fort de Kock kemudian kembali menjadi Bukit Tinggi, Batusangkar menjadi Fort van der Capellen kemudian kembali menjadi Batusangkar, Rao menjadi Fort Amerongen kemudian kembali menjadi Rao, demikian juga Panyabungan menjadi Fort Elout kemudian kembali menjadi Panyabungan.
Kebijakan Patuan Moksa mengubah nama kampung Dori Soit menjadi Panyabungan, sungguh sangat brillian. Dori Soit artinya buah pohon rotan yang daging buahnya terasa sangat asam dan kelat. Buah ini disebut juga sihim berbentuk bulat, berdiameter kira-kira 2 cm, kulitnya bersisik seperti kulit buah salak, berwarna kuring coklat. Pada zaman dahulu, buah soit yang belum dikupas biasa dijadikan mainan anak-anak seperti permainan klereng atau marginjir, marlajo atau marreket yang memakai kemiri sebagai alat permainan.
Seperti halnya Dori Soit, nama kampung-kampung di Mandailing Natal banyak diambil dari nama pohon, binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, arah mata angin, gunung, bukit, dolok, gua, sungai, sopo, jambur, bandar, dll. di antaranya: Sipapaga, Kayu Jati, Sigalapang, Aek Nabara, Sabajior, Runding, Batang Gadis, Huta Baringin, Huta Bargot, Rumbio, Tor Banua Raja, Tor Banua Rakyat, Jambur Padang Matinggi, Sopo Sorik, Hayu Raja, Tano Bato, Aek Ngali, Lubuk Kapundung, Sikapas, Huta Gambir, Bandar Panjang, Koto Baringin, Huta Lancat, Limau Manis, Kampung Pinang, Aek Mual, Lumban Dolok, Muara Batang Angkola, Lumban Pinasa (pinasa artinya nangka), Sibaruang, Pangkat (pucuk rotan), Aek Marian, Huta Padang (tumbuhan ilalang), Habincaran (artinya timur), Simpang Duku, Tolang (nama bambu), Sampuran, Tandikek, Simpang Gambir, Aek Manyuruk, Simpang Durian, Tapus, Simpang Koje, Lancat Batu Gajah, Aek Garingging, Botung (nama bambu), Husor Tolang, Simpang Tolang, Saba Dolok, Pulau Tamang, Banjar Aur (aur artinya bambu), Kampung Kapas, Batu Sondat, Balimbing, Pastap, Muara Mais, Angin Barat, Laru, Tarutung Panjang, Tambiski, Bange, Ampung Siala, Aek Manggis, Bandar Malayu, Muarasoma, Guo Batu, Aek Holbung, Aek Nangali, Aek Guo, Sopotinjak, Bulu Soma, dll.
Nama-nama yang arkais itu, ialah yang berhubungan dengan masa dahulu atau kuno, dibentuk dengan alasan yang sederhana, ialah merujuk pada pergaulan masyarakat yang erat dengan alam disekitarnya.
Inilah perbedaan yang nyata dengan apa yang dilakukan oleh Patuan Moksa dan H. Amru Daulay, S.H. Gagasan Patuan Moksa mengganti nama Dori Soit menjadi Panyabungan, adalah berdasarkan orientasi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi. Sedangkan gagasan H. Amru Daulay, S.H. mengubah nama Panyabungan menjadi Madina, adalah berdasarkan filosofi peraihan kesejahteraan masyarakat dengan membangun masyarakat Madina Yang Madani.
Masyarakat yang madani adalah masyarakat yang memiliki peradaban tinggi, memiliki dan mengamalkan nilai-nilai luhur agama Islam dan tardisi yang sesuai dengan ajaran agama Islam, adil, jujur, demokratis, menghargai tinggi hak-hak asasi manusia, semua orang sama di muka hukum, egaliter, memiliki jiwa dan semangat kekhalifahan, rajin, tekun, bekerja keras, inventif, berjiwa pelopor, bertanggung jawa, kreatif, arif, penyantun, pintar dalam segala yang membawa manusia ke alam kebahagiaan dunia dan akhirat (Harahap, 2004:332-350).
Gagasan Bapak H. Amru Daulay, S.H. mengganti nama Panyabungan menjadi Madina, kemudian membangun Madina Square di lokasi Pasar Panyabungan yang didirikan Patuan Moksa, adalah merupakan pembangunan berkelanjutan yang berdurasi berabad-abad. Karena gagasan Patuan Moksa menjadikan Pasar Panyabungan sebagai pusat bisnis di wilayah kekuasaannya dan sekitarnya, sejalan dengan pembangunan Madina Square yang bukan saja akan menjadi pusat bisnis untuk Mandailing Natal, bahkan akan menjadi pusat bisnis di wilayah Sumatera Tenggara, termasuk bagi wilayah Pasaman yang sejak dahulu kala adalah kampung halaman orang Mandailing. Dengan demikian, tidak mustahil kelak pasar grosir Bukit Tinggi yang selama ini tempat berbelanja pedagang Mandailing Natal, akan beralih ke Madina.
Maka koreksi nama Panyabungan yang kata dasarnya adalah sabung yang terkait dengan tradisi menyabung ayam, akan berubah menjadi Madina sebagai ikon pembangunan masyarakat Madina yang madani itu.
Salah satu alasan penggantian nama Panyabungan menjadi Madina, adalah karena fakta menunjukkan bahwa tradisi menyabung ayam telah memberi peluang melakukan perjudian, sekaligus menumbuhkan perilaku bertarung, adu kekuatan, adu nasib, tipu menipu, bahkan permusuhan dan perkelahian sampai pada pembunuhan.
Sebagai contoh betapa arena perjudian dapat menjadi lokasi pembunuhan dikisahkan dalam buku beraksara dan berbahasa Mandailing Baginda Mangaraja Enda Panyabungan Tonga-Tonga, 1861, hasil garapan Prof. Dr. Herman Neubronner van der Tuuk, ialah peristiwa pembunuhan Ompu Ni Mangarung, anak Baginda Mangaraja Enda di arena perjudian. Pembunuhan itu dilakukan oleh saudara sepupu Ompu Ni Mangarung bernama Gading Soruaron, putera tunggal Sutan Parampuan, Ratu Padang Garugur, Mompang sekarang.
Peristiwa inilah yang menjadi alasan pecahnya Porang Marugup-ugup. Menurut dialog-dialog di dalam kisah ini baik antara Ompu Ni Mangarung dengan Sutan Parampuan dan Gading Soruaron, dan antara Baginda Mangaraja Enda dan Sutan Parampuan, maka dapat disimpulkan bahwa Baginda Mangaraja Enda adalah kerabat dekat Sutan Parampuan. Hal itu dibuktikan dengan pengucapan tutur kekerabatan yang mereka ucapkan. Baginda Mangaraja Enda menyebut Sutan Parampuan sebagai nantua Ompu Ni Mangarung, dan Baginda Mangaraja Enda menyapa Sutan Parampuan sebagai angkang, Gading Soruaron menyapa Ompu Ni Mangarung dengan tutur pareban pamere.
Pada suatu hari Baginda Mangaraja Enda menyuruh Ompu Ni Mangarung berkunjung ke Padang Garugur untuk bertemu dengan Gading Soruaron yang sedang berada di arena judi Pongkalan Sijuang Na Hilang di Padang Garugur. Sutan Parampuan melarang Ompu Ni Mangarung pergi menemui Gading Soruaron di Pongkalan Sijuang Na Hilang. Sebab banyak orang yang sedang berjudi di sana. Ompu Ni Mangarung menjawab inangtuanya itu dengan mengatakan, bahwa ia tak pandai berjudi. Jadi, dia tidak akan terlibat dalam perjudian di sana.
Tiba di Pongkalan Sijuang Na Hilang, Gading Soruaron mengajak Ompu ni Mangarung untuk berjudi. Ompu Ni Mangarung menolak, karena ia tak pandai berjudi. Gading Soruaron terus mendesak Ompu Ni Mangarung: “Pula i ho na malo, songon i baen,” (Mana yang kau bisa, lakukan itu saja) kata Gading Soruaron. Akhirnya Ompu Ni Mangarung bersedia berjudi dengan Gading Soruaron. Ternyata Gading Soruaron kalah sampai dua puluh tail. Gading Soruaron dendam, ingin mendapatkan uangnya kembali. Gading Soruaron berniat membunuh Ompu Ni Mangarung. Maka Gading Soruaron pun mengajak seorang bayo paragat, penakik nira, untuk membunuh Ompu Ni Mangarung. Gading Soruaron berkata kepada bayo paragat itu:
“Tabunuma doli-doli Ompu Ni Mangarung, anso tabuat hamonanganna i,” (Kita bunuh saja Ompu Ni Mangarung supaya kita ambil uang kemenangannya itu) kata Gading Soruaron kepada bayo paragat itu. Maka mereka pun membunuh Ompu Ni Mangarung.
Gading Soruaron melapor kepada ibundanya, Sutan Parampuan, bahwa Ompu Ni Mangarung sudah tewas diterkam harimau. Sutan Parampuan terperanjat. Ia mengajak anaknya mencari jenazah Ompu Ni Mangarung. Gading Soruaron mengatakan, bahwa ia sudah menemukan bagian jenazah Ompu Ni Mangarung, tetapi hanya kakinya saja yang tersisa.
Sutan Parampuan menyuruh hulubalang menghadap Baginda Mangaraja Enda untuk memberitahukan musibah kematian Ompu Ni Mangarung. Baginda Mangaraja Enda sangat berduka. Ia menolak permohonan ganti rugi yang diajukan oleh Sutan Parampuan. Perdamaian tidak tercapai. Baginda Mangaraja Enda mengatakan nyawa harus dibayar nyawa. Gading Soruaron pun tewas di tangan hulubalang Baginda Mangaraja Enda.
Maka kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan kasus ini dengan berperang. Porang Marugup-ugup pun pecah di kawasan persawahan Sigalapang sekarang. Sutan Parampuan gugur ditembak oleh Baginda Mangaraja Enda. Padang Garugur dibumi hangus. Penduduk kucar-kacir menyelamatkan diri. Sebagian eksodus melintasi gugus Bukit Barisan mendaki Dolok Malea. Dolok ini kemudian dijuluki orang Tor Sibuang Anak, karena para pengungsi tidak sanggup lagi menggendong anak mereka turun naik gunung dan lembah. Mereka pun meninggalkan anak-anak mereka di Dolok Malea itu.
Pengungsi yang memilih tinggal di Barumun, kemudian bergabung dengan komunitas Mandailing yang sudah ada di kampung-kampung yang namanya sama dengan nama kampung-kampung di Mandailing seperti Panyabungan, Sinonoan, Siabu, Huta Bargot, Hutanopan dll.
Sedangkan pengungsi yang memilih meneruskan perjalanan ke Rambah, Riau, kemudian bergabung dengan komunitas Mandailing yang sudah menetap di sana. Orang Mandailing yang bermukim di Kesultanan Rambah mendapat qurnia (hibah) tanah dari Kesultanan Rambah. Mereka bermukim di tujuh perkampungan Kesultanan Rambah yang disebut Na Pitu Huta. Kelak mereka mendapat gelar kebesaran adat Mandailing. Gelar tetap itu ialah empat bergelar Sutan dan tiga bergelar Mangaraja. Mereka bebas melaksanakan adat istiadat Mandailing, dan berhak mengambil bagian dalam upacara adat Kesultanan Rambah. Bahkan pemimpin masyarakat Mandailing di Rambah mendapat kedudukan terhormat dalam upacara adat besar, ialah menyapukan, mengoleskan minyak ke kepala Sultan.
Paparan singkat di atas merupakan bukti betapa arena judi dan sabung ayam yang dimiliki oleh setiap kerajaan, menyebabkan penderitaan, permusuhan, kedengkian, dendam kesumat, kekerasan dan pembunuhan. Begitu pentingnya tradisi menyabung ayam dalam tradisi Nusantara, dapat kita lihat, antara lain suatu lokasi arena menyabung ayam di Bukit Panyabungan, Sumatera Barat. Kita mengetahui, bahwa pada awal gerakan Paderi di Sumatera Barat, 1803, salah satu sasaran dakwah mereka adalah membasmi dengan keras kebiasaan menyabung ayam.
Tradisi menyabung ayam yang merupakan tradisi bangsa-bangsa Asia Tenggara, sudah banyak dilarang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Barangkali, tradisi tajen, adu ayam, di Bali yang merupakan bagian dari ritual keagamaan menjadi pengecualian. Namun demikian, tradisi tajen pun tidak dilakukan di sembarang tempat.
posted at 09:24:54 on 09/07/14 by rajungan - Category: General

Comments

No comments yet

Add Comments

You must be logged in as a member to add comment to this blog